Sementara Jawa memperoleh 48 sekolah, hampir sepertiga dari total. Pertanyaan muncul: apakah ini pemerataan, atau pola lama yang tetap terpusat di Jawa?
Â
Ketiga, soal kesinambungan. Sejarah mencatat banyak program pendidikan berakhir tanpa jejak: sekolah terbuka, sekolah berstandar internasional, hingga SMK mini. Sebagian besar kandas karena keterbatasan anggaran, lemahnya perencanaan, dan minim evaluasi.
Tanpa strategi keberlanjutan yang matang, Sekolah Rakyat berisiko hanya menjadi jargon politik---indah di atas kertas, rapuh di akar rumput.
Keempat, soal peran guru. Presiden menaruh harapan besar pada guru sebagai motor penggerak. Namun, realitas menunjukkan kesejahteraan guru masih timpang, kompetensi tidak merata, dan banyak berstatus honorer.
Dengan beban tambahan di Sekolah Rakyat, apakah guru diberi pelatihan khusus? Apakah insentifnya memadai? Tanpa menjawab ini, harapan pemerintah bisa segera berbenturan dengan kenyataan di ruang kelas.
Â
Kelima, soal kelembagaan. Eksekutor program ini adalah Kementerian Sosial. Di sinilah letak kejanggalannya. Kemensos memang memiliki mandat mengatasi masalah sosial, tetapi pendidikan bukanlah tupoksinya. Mengapa tidak dipercayakan kepada Kementerian Pendidikan yang memiliki pengalaman panjang dalam pengelolaan sekolah? Atau mengapa tidak melibatkan ormas keagamaan seperti Muhammadiyah atau NU yang sudah terbukti membangun ribuan sekolah dengan jaringan kuat hingga ke pelosok?  Dari sudut ini, SR berpotensi menjadi eksperimen kebijakan yang sesat paradigma, bahkan bersifat gambling.
Program SR ini tentu patut diapresiasi sebagai ikhtiar politik untuk memperluas akses pendidikan dan mengaitkannya langsung dengan agenda pengentasan kemiskinan. Namun, apresiasi saja tidak cukup. Diperlukan keseriusan pemerintah menjawab tantangan kualitas, pemerataan, kesinambungan, peran guru, serta kelembagaan.
Jika SR hanya menjadi etalase citra politik tanpa fondasi yang kokoh, maka ia hanya akan menambah daftar panjang eksperimen pendidikan yang indah di atas kertas, tetapi gagal di lapangan. Pak Presiden, sungguh harapan masyarakat miskin tidak boleh dipertaruhkan demi pencitraan politik Anda.**
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI