Di negeri ini sektor pendidikan kerap menjadi panggung bagi ambisi besar sebuah rezim. Seperti yang kini dilakukan oleh  Presiden Prabowo Subianto.  Di awal pemerintahanya, Prabowo  mengibarkan "Sekolah Rakyat" (SR) sebagai program unggulan pemerintahannya.
Sebanyak 100 Â SR telah beroperasi sejak Juli hingga Agustus, dari total 165 yang direncanakan. Ada jenjang SD, SMP dan SMA dan semuanya berasrama. Â Distribusi tersebar SR di berbagai daerah: 48 di Jawa, 22 di Sumatera, 15 di Sulawesi, sementara Papua hanya tiga dan Maluku empat.
Kurikulum SR yang merupakan pendidikan gratis bagi anak-anak miskin ini disebut sebagai dirancang "berbeda". Siang hari siswa belajar pelajaran formal, malam harinya dibekali pendidikan karakter, nilai agama, kepemimpinan, hingga keterampilan hidup.
Presiden sendiri turun langsung memberikan pembekalan kepada 154 kepala sekolah dan 2.200 guru. Dengan penuh keyakinan Prabowo mengklaim bahwa melalui SR Â yang digagasnya ini diharapkan akan menjadi model sekaligus jawaban nyata memutus rantai kemiskinan.
Optimisme Presiden Prabowo tentu boleh-boleh saja. Namun, pengalaman panjang menunjukkan program besar di bidang pendidikan manakala dirancang tanpa perencanaan yang matang sering kali mudah tersandung realitas lapangan. Dalam konteks SR ini misalnya, ada sejumlah catatan kritis yang perlu dijawab.
Â
Pertama, soal kualitas. Membuka akses penting, tetapi memastikan mutu pembelajaran jauh lebih krusial. Pola ganda siang dan malam memang menjanjikan, tetapi juga berisiko menimbulkan beban berlebih.
Anak-anak dari keluarga miskin yang masuk SR bisa saja kehilangan waktu bermain dan ruang psikologis yang sehat. Jika konsepnya berasrama, dampak negatifnya semakin besar: keterasingan dari keluarga, potensi konflik sosial, hingga tekanan mental. Alih-alih melahirkan generasi tangguh, bisa saja SR justru mencetak anak-anak yang kelelahan.
Â
Kedua, soal pemerataan. Distribusi sekolah memang disebut menyebar ke berbagai pulau. Namun, ketimpangan masih mencolok. Papua hanya mendapat tiga sekolah dan Maluku empat, padahal kedua wilayah itu memiliki angka putus sekolah paling tinggi.