Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Takjil War", antara Tradisi dan Komersialisasi

20 Maret 2024   12:22 Diperbarui: 20 Maret 2024   12:34 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"War" Takjil yang Meluruhkan Sekat SARA - Kompas.id 

Melalui "takjil war", pedagang non-Muslim juga dapat belajar lebih banyak tentang kebudayaan dan tradisi Ramadan. Mereka bisa belajar tentang makna dan nilai-nilai di balik takjil, serta bagaimana cara merayakan bulan Ramadan secara lebih luas.  

Dengan demikian, "takjil war" tidak hanya menjadi fenomena yang melibatkan umat Muslim, tetapi juga memperluas cakupan kepada semua lapisan masyarakat, termasuk non-Muslim. 

Kondisi ini mencerminkan keragaman budaya Indonesia yang kaya, di mana orang dari berbagai latar belakang agama dan budaya dapat bersatu dalam momen berbagi kebersamaan, kuliner, dan tradisi.

Namun, di sisi lain, "takjil war" juga membawa dampak yang perlu diperhatikan. Pertama, ada risiko komersialisasi yang berlebihan. Beberapa penjual mungkin lebih fokus pada aspek komersial, sehingga keaslian dan kualitas takjil bisa tergerus. 

Bahan-bahan berkualitas mungkin digantikan dengan bahan pengganti yang lebih murah, hanya untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar. Hal ini dapat merusak esensi dari takjil itu sendiri, yang seharusnya mengandung nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, dan keragaman budaya.

Kedua, aspek kesehatan juga perlu diperhatikan. Takjil umumnya mengandung gula dan bahan-bahan yang tinggi kalori. Dalam konteks "takjil war", di mana variasi dan kreativitas menjadi kunci penjualan, ada potensi konsumsi gula dan kalori yang berlebihan. Hal ini bisa menjadi perhatian, terutama mengingat masalah kesehatan seperti obesitas dan diabetes semakin meningkat di masyarakat.

Lalu, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena "takjil war" ini? Pertama-tama, sebagai konsumen, kita harus lebih bijak dalam memilih takjil yang kita konsumsi. Memilih takjil yang sehat dan memperhatikan kualitas bahan yang digunakan dapat menjadi langkah awal untuk mendukung praktik "takjil war" yang lebih bertanggung jawab.

Kedua, bagi penjual takjil, penting untuk tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional dalam proses pembuatan dan penjualannya. Meskipun "takjil war" menawarkan persaingan yang ketat, tidak ada salahnya untuk tetap mengutamakan kualitas dan keaslian dalam setiap produk yang dijual.

Terakhir, sebagai masyarakat yang peduli akan keberlangsungan budaya dan tradisi, kita dapat mendukung praktik "takjil war" yang sehat dan berkelanjutan. Mendorong penjual untuk menggunakan bahan-bahan yang berkualitas dan mendukung produksi lokal dapat menjadi langkah positif untuk menjaga esensi dari "takjil war" tanpa mengorbankan nilai-nilai aslinya.

Dengan demikian, fenomena "takjil war" bisa menjadi momentum bagi kita untuk merenung tentang nilai-nilai tradisional, komersialisasi, dan kesehatan. Dalam merayakan Ramadan dan menikmati takjil, penting bagi kita untuk tetap menghormati nilai-nilai kebersamaan, keikhlasan, dan keberagaman budaya yang melekat dalam setiap hidangan yang kita santap. 

Juga fenomena ini semakin mengukuhkan kebersamaan kita sebagai bangsa serta meluruhkan sekat-sekat SARA antar umat beragama di tanah air tercinta. Semoga Ramadan dan "takjil war" dapat selalu menjadi momen yang memberkati bagi kita semua.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun