Mohon tunggu...
Kholid Harras
Kholid Harras Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Pendidikan Indonesia

Pemerhati pendidikan, politik, dan bahasa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ordal, Nepotisme yang Menyamar di Panggung Meritokrasi

14 Desember 2023   21:14 Diperbarui: 14 Desember 2023   21:40 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
epaper.mediaindonesia.com

Fenomena "Ordal," atau praktik "Orang Dalam" tidak hanya menjadi tantangan terhadap sistem meritokrasi, tetapi juga mengakar dalam kejahatan nepotisme. Praktik ini telah menciptakan ketidaksetaraan peluang dan merusak nilai-nilai objektivitas dalam dunia rekrutmen dan pengembangan karir di Indonesia. Dalam konteks politik, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan keluarga dan kenalan, ordal menjadi bagian dari kejahatan nepotisme yang perlu diperangi.

Kasus Gibran Rakabuming Raka yang mendapatkan dukungan kontroversial untuk menjadi cawapres menjadi contoh konkret bagaimana ordal terkait erat dengan nepotisme. Putusan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan Gibran menempati posisi Cawapresnya Prabowo Subianto, hal  itu terutama karena hubungan keluarga dengan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman yang notabene sang Paman dari  Gibran. Oleh karenanya kasus tersebut telah menciptakan tanda tanya besar terkait etika dan keadilan.

Dalam banyak kasus, praktik ordal digunakan sebagai instrumen untuk melancarkan aksi nepotisme. Koneksi pribadi dan keluarga seringkali mendominasi proses seleksi, menyisihkan individu-individu berbakat dan berkualifikasi yang seharusnya mendapat kesempatan. Ordal menjadi jalan pintas bagi individu-individu terkait secara pribadi dengan pejabat atau tokoh berpengaruh untuk mendapatkan posisi atau keuntungan tanpa melalui proses seleksi yang adil.

Pernyataan Anies Baswedan tentang ordal saat debat pertamanya sebagai Capres yang digelar Selasa malam (12/12/2023) mencerminkan keprihatinan bahwa fenomena ini dapat merongrong prinsip meritokrasi. Nepotisme, sebagai kejahatan yang melibatkan pemberian hak istimewa kepada keluarga atau kenalan, memiliki kesamaan dengan ordal dalam merusak prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar penilaian dan penghargaan.

Praktik nepotisme dan ordal tidak hanya memberikan dampak buruk pada keadilan dan objektivitas, tetapi juga merugikan pembangunan berkelanjutan. Ketika posisi-posisi kunci diisi oleh individu yang tidak berdasarkan pada kualifikasi dan kompetensi, hal ini dapat menghambat kemajuan dan inovasi. Etika yang dilanggar oleh praktik ini juga menggoyahkan fondasi moral dalam tata kelola negara dan sektor swasta.

Perlawanan terhadap nepotisme dan ordal harus menjadi prioritas bagi masyarakat sipil, organisasi non-pemerintah, dan lembaga pengawas. Memastikan proses seleksi dan rekrutmen berbasis pada meritokrasi yang sejati adalah langkah kunci untuk mengatasi kedua fenomena ini. Pemberantasan nepotisme dan ordal tidak hanya tentang menjaga keadilan, tetapi juga membuka pintu bagi talenta-talenta baru yang dapat memberikan kontribusi nyata pada pembangunan bangsa.

Fenomena "Ordal" sejatinya merupakan ekspresi dari kejahatan nepotisme yang menyamar di balik tirai panggung meritokrasi. Kasus-kasus seperti Gibran Rakabuming Raka menjadi peringatan bahwa kita perlu bersatu untuk melawan praktik-praktik yang merugikan keadilan dan pembangunan berkelanjutan. Melalui transparansi, keadilan, dan penegakan hukum yang tegas, kita dapat memastikan bahwa nepotisme dan ordal tidak lagi merusak pondasi meritokrasi dan etika di Indonesia.

Perlu adanya kerja sama antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait untuk mengatasi maraknya Ordal ini. Hanya dengan menjaga nilai-nilai meritokrasi dan etika, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih adil dan berkesinambungan, di mana setiap individu memiliki kesempatan yang setara untuk berkembang dan berkontribusi pada kemajuan bangsa. Dan langkah awal untuk mewujudkanya,  rakyat negeri ini tentunya harus cerdas dengan mengedepankan akal sehat dalam memilih calon presiden yang barunya.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun