Mohon tunggu...
Kholid Al Qadirie
Kholid Al Qadirie Mohon Tunggu... -

Mahasiswa STKQ Al-Hikam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kartini, Gagasan dan Realita

24 April 2014   04:12 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:16 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

HARI KARTINI, GAGASAN DAN REALITA

Kartini adalah tokoh emansipasi perempuan yang diperingati bangsa Indonesia setiap tahunnya. Peringatan Hari Kartini ini sudah menjadi tradisi bangsa Indonesia untuk mengingat perjuangan Kartini dalam memperjuangkan hak-hak perempuan yang termarginalkan dalam ranah pendidikan, sosial, ekonomi, dan budaya pada zamannya. Banyak hal yang dilakukan masyarakat dalam memperingatinya, salah satunya melakukan berbagai seremoni dengan mengenakan baju adat jawa atau biasa disebut dengan kebaya dan sanggul.  Namun apakah perayaan tersebut mencerminkan pemikiran dan gagasan Kartini tentang emansipasi dan kesetaraan hak-hak perempuan?.

Bila kita membaca sejarah tentang gagasan Kartini dalam memperjuangkan kaum perempuan, sebenarnya Kartini ingin perempuan Indonesia memiliki kecakapan yang sama dengan kaum laki dalam hal pendidikan dan pengajaran, bukan sebagai penyelaras dan saingan laki-laki dalam perjuangannya. Melainkan agar kaum perempuan dapat mengerti kedudukan yang sesungguhnya dalam kehidupan, agar mengerti dan paham hak dan kewajibannya sebagai perempuan sekaligus ibu bagi anak-anaknya, sebagai pendidik pertama dalam kehidupan. Gagasan itu tertera pada surat Kartini kepada temen-temennya:

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum perempuan, agar perempuan lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama”. [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902]

Gagasan Kartini sebenarnya sejalan dengan ajaran agama Islam yang memberi kesempatan kepada setiap ummatnya, baik laki-laki dan perempuan untuk sukses di dunia akhirat. Sukses dalam arti sebenarnya, yaitu sukses dalam perannya sebagai khalifah yang bertakwa kepada Allah dengan menjalankan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya.

Dalam tatanan realita, gagasan Kartini disalahartikan sebagai emnasipasi perempuan dengan mengklaim persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Mereka menganggap perempuan memiliki hak dan otonomi yang sama dalam menentukan nasib dan karir yang mereka inginkan, tidak hanya berkutat pada tingkat domestik yaitu mengurusi rumah dan anak. Sehingga tidak jarang kaum perempuan sekarang lebih mementingkan karir daripada tugas utama mereka sebagai ibu pendidik anak-anak mereka.

Pemahaman ini sungguh keliru, pertama karena perempuan tidak diciptakan untuk dimarginalkan, baik dari segi agama dan Negara. Agama dan Negara telah memberikan kedudukan perempuanyang tinggi dalam keluarga, ia menjadi tolak ukur kesuksesan pendidikan anak setelah keluarga. Jika pendidikan orang tua terutama ibu terhadap anaknya baik, maka baik pula pendidikan anak selanjutnya. Namun jika sebaliknya, jika pendidikan keluarga saja salah,maka jangan heran kalau banyak anak yang sudah berani kepada orang tua, sering keluyuran malam, berinteraksi dengan narkoba, dan salah dalam bergaul. Semua kejadian-kejadian di atas tidak terlepas dari andil ibu sebagai orang tua dalam mendidik anak di rumah.

Kedua, emansipasi yang digalang oleh Kartini tidak berada pada persamaan hak antara laki-laki dan perempuan, melainkan sebuah manifestasi kebebasan perempuan dalam menentukan keinginannya secara subyektif dalam mengekplorasi diri. Artinya ketika perempuan memilih menjadi ibu rumah tangga dengan penuh kematangan dan kesadaran tanpa paksaan sehingga ia mampu menemukan dirinya, maka hal itu sebenarnya wujud dari emansipasi. Begitu juga sebaliknya, ketika perempuan ingin mengekplorasi dirinya dengan berinteraksi social dan tanpa paksaan serta tetap memperhatikan kewajiban peran seorang ibu dan perempuan, maka hal tersebutadalahwujuddariemansipasi.

Ketiga, perjuanganKartinitidakhanyadilatarbelakangiolehbudayaningrat yang mewajibkanperempuanuntukdipingitdansebagainya, tetapijuga factor kurangnyapendidikan Indonesia yang memberikanotonomidankebebasanbagiperempuandalammengenyampendidikan.OlehkarenanyaKartiniberusahakerasuntukbisabelajarkeeropauntukmeningkatkantarafpendidikanperempuankhususnyadanpendidikan Indonesia padaumumnya.

Dari uraiandiatas, dapatdirefleksikanbahwaperjuanganKartinitidakterletakpada “emansipasisalaharah”, akantetapiperjuanganseorang yang terkungkungdenganadat, danmarginalisasiperempuansaatitu. Dari duasebabiniKartiniberangkatuntukmemperjuangkanhaksebagaiperempuandalampendidikandan social budaya yang mengekanguntukbisaberkaryadanberinteraksidenganhatinuranipada masa yang akandatang.Sekarang, apakahKartinizamanpost modernsaatinisudahmencerminkanperjuangandangagasanKartini yang sebenarnya?


Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun