Mohon tunggu...
Khoiruz_za
Khoiruz_za Mohon Tunggu... Desainer - Freelancer- teacher SDI AL AZHAR 25

Kesuksesan berasal dari cara seseorang bagaimana memperlakukan waktu dan menghadapi proses

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hajat yang Tak Sampai

28 November 2018   17:58 Diperbarui: 28 November 2018   18:21 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sore yang teduh, berayun bersama tarian angin dan sentuhan senja. Menyambut derap kaki ku dan kakak ku, lukman. Tujuan kita sama; berangkat ke mushola kyai Adnan di desa sumber pandan. Tapi, jika aku kesana untuk belajar mengaji, maka kakakku sebaliknya. 

Tiga tahun lalu, setelah kakakku boyong dari pondok kraton di Pasuruan, kiai Adnan meminta kakakku itu untuk mengajar ngaji di dalemnya. Jadilah aku seorang murid dari kakakku sendiri.

"Cak, banyak kabar kalau kamu punya hubungan dengan Ning luluk."

Jauh sebelum sampai di mushola, aku menanyakan hal yang sangat menggangu ku belakangan ini.

"Hanya sekedar teman. Teman dekat, tapi kalau ada qadar tuhan yang memastikan, insyaallah tahun depan akan tunangan." Pipinya menggelembungkan senyum. Bahagia amat ,kayaknya.

"Huu... Bilang aja sekarang lagi penjajakan."

"Iya iya. Doakan saja. Kami sudah merancang segala galanya. Mulai pesta pernikahan, bulan madu, bisnis, bangun rumah, dan lain lain. Semuanya sudah real dan deal." Jawabnya sambil mengangkat dua jempol dan menyemburkan busa pipi yang menggelembung pelan. Dasar!

Kakakku yang satu ini memang sangat humoris, meski dia sebenarnya seorang yang temperamental. Apalagi ketika ngaji, aku tak punya akses istimewa layaknya seorang adik kecil di rumah yang mesti dimanja. Aku, sama saja dengan yang lain. Kalau nakal, push up 25 kali! Di kasih tau tetap saja nakal, push up 70 kali! Ketiga kalinya siap siap tangannya akan bertato merah, sebagai wujud nyata dari ketegasan seorang guru.

Hingga suatu pagi di hari Minggu, aku bertanya panjang lebar tentang bagaimana dia bisa kenal, dekat ,dan berhubungan dengan Ning luluk, yang terkenal sebagai kembang desa di sumber pandan.

"Dia dulu teman SD. Aku, dia dan Ning rahma sekelas di SDN 02 alaskokon."

" Tunggu dulu, sebelum dengan Ning luluk, kamu kan punya hubungan dengan Ning rahma?"

" Iya memang. Tapi aku tidak pernah merasa punya hubungan. Tiba tiba banyak kabar kalau dia jadian, bahkan tunangan dengan aku. Usut punya usut, ternyata dia yang terlalu percaya diri menyebarkan isu itu."

"Aneh, terus gimana ceritanya sekarang. Kok bisa sama Ning luluk."

"Nah, kalau itu panjang ceritanya. Sebenarnya, Ning rahma sama Ning luluk itu masih sepupu. Tapi memang ada gengsi dan rasa saing sejak dulu. Apa yang di miliki Ning rahma , maka harus bisa di rebut sama Ning luluk. Begitu juga sebaliknya. Ini sudah menjadi rahasia umum sejak SD dulu. Kamu tahu, di gerbang akhir hubunganku dengan Ning rahma, yang berarti juga tangga awal untuk ku mendaki hidup bersama Ning luluk, dia berpesan lewat sepucuk surat, katanya," aku doakan, semoga kalian tak pernah bahagia."

" Berarti kamu hanya Korban pertarungan ego dan gengsi mereka?"

Kakakku yang mendengar itu kaget. Dia berpikir lama . entah apa yang dipikirkannya...

Hari terus berganti, waktu yang selalu berlalu, menjadi saksi bisu akan komitmen kakakku yang hendak membangun mimpi dengan pujaannya itu. Namun, setelah tiga tahun berlalu, tak ada tanda-tanda kakakku akan menikah. Bukankah kalau terus-terusan pacaran hanya akan menambah dosa, meski kenyataan nya mereka berdua hanya berhubungan lewat handphone saja?

Entah, semua kebingungan itu kemudian menjadi terang seterang matahari di azan dhuhur, sejelas wajahku yang merah merona ketika beradu pandang dengan....ah, aku memang tak punya nyali layaknya laki laki zaman now. Kata orang sekarang aku kampungan! Toh, menurut ku tidak ada yang mesti di banggakan dari orang orang kota . semuanya masih relatif, dan orang orang memiliki kecenderungan tersendiri.

Pagi itu, aku baru selesai memberi makan ayam ketika kakiku berselonjoran di atas dipan bambu, saat tiba tiba kakak bilang, " ron , semuanya berakhir."

" Maksudnya?"

" Tadi malam, aku dan kiai adnan salat istikharah. Hasil nya , ambigu. Gelap. Dan tak mungkin di teruskan."

" Oh, iya biarin aja lah, kak.

Mungkin yang lebih baik masih di siapkan tuhan."

Kami duduk berselonjoran di ruang santai rumah. Memang ada senggang di sana. Meski kadang kami memaksakan tawa dan candaan, tetap saja kebekuan itu terasa. 

Sejak peristiwa hajat yang tak sampai itu, terasa ada hal yang hilang di rumah ini. Satu hal yang sebenarnya sangat penting: ketulusan senyum dan keikhlasan menemani.sepenuh raga dan jiwa , serta hati.

Tiga hari setelah istikharah itu, suatu waktu, kakakku datang dan berkata dengan nada marah, " imron! Ternyata dia seorang penghianat. Penjilat. bajingan.."

Kata kata nya terhenti.aku tak pernah melihat kakakku mengamuk seperti ini.

" Sebentar, kak. Ini kenapa?"

" Dia sudah tunangan. Dengan teman kampusnya sendiri. Kira kira masuk akal gak, ada orang kenal baru tiga hari, di ajak tunangan langsung mau..!"

Aku diam saja.

" Tidak ada, ron. kalau pun ada itu hanya sepersekian rendah dari sebagian kecil dalam panggung drama hidup ini."

Aku diam saja.

"Yang membuat aku heran dan marah, ternyata dia tunangan dengan seniornya sendiri di UNIBA. Padahal setiap aku dan dia ada masalah, kita sering minta saran pada seniornya itu. Dia baik, sudah aku anggap sebagai kakak sendiri. Tapi..."

Suaranya terhenti. Aku tetap diam.

" Pesta perkawinanannya setelah lebaran tahun ini. Aku akan datang. Akan aku tunjukkan kalau aku kuat. Kalau aku tidak akan merapuh, hanya karena masalah kebusukan seperti ini." Katanya sambil menatap ruang kosong kejauhan.

Seminggu, setelah kabar pertunangan itu menyebar kemana-mana, ibu yang sejak pertama memendam amarah yang tak berkesudahan, karena memakan malu akibat kakak ku yang gagal menikah dengan Ning luluk itu, akhirnya, di ruang tamu yang tetap beku, dia menatap  lekat mataku. Aku kaget. Ada apa? Yang punya masalah kan kakak , bukan aku!.

" Kamu harus sadar .cung."

Ibu akhirnya memecah keheranan ku.

" Kita ini budak , jangan pernah mengharapkan ratu!" Ibuku memegang dadanya. Menahan gemuruh ombak amarah. Meluap luap, membakar kesabaran.

" Saya sudah bilang kepada kakak mu sejak awal. Tapi tetap saja dia berhubungan dengan putri kiai adnan di kampung sebelah. Akhirnya seperti ini kan?" Aku tertunduk layu mendapati cerita yang secara halus memberikan warning keras pada masa depan ku.

Sebuah peringatan yang suatu saat akan membelenggu ku bersama dia. Ah...

" Kalau hanya panas nya matahari, masih bisa di payungi. Tapi kalau panasnya hati , tidak bisa nak! Tak kan pernah bisa!"

" Enggeh, bu..."

Aku membeku pilu, memandang masa depan ku dengan nya, tak akan sampai di tujuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun