[caption id="attachment_308443" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi Yuyu Kangkang dlm Ande Ande Lumut (Wikipedia)"][/caption]
OLEH: KHOERI ABDUL MUID
Di Indonesia, khususnya di Jawa, ada kisah lisan (dongeng) yang sangat populer, yang karena sifat kelisanannya mengakibatkannya bervarian, yaitu Ande Ande Lumut. Diduga kisah ini berasal dari era Majapahit (Wikipedia). Ada dua tokoh protagonis utama dalam kisah ini, yakni Ande Ande Lumut dan Kleting Kuning. Sementara di sudut antagonis, juga ada dua tokoh utama yang tak kalah serunya, ialah Kleting Non-Kuning dan Yuyu Kangkang.
Kenapa mendongeng?
Serpihan cerita di pinggiran banjir yang kulihat, menginspirasiku memperspektifkan dongeng Ande Ande Lumut untuk mencermatinya. Karenanya, izinkan aku sedikit mendongeng sembari mengingatkan para pembaca yang telah mengenalnya. Tapi, jangan ketiduran, loh... dan, tentu saja sesuai versi aku, dunk. Dongeng khan akronim dari dipaido ora mengeng (Jw), didebatpun tidak mempan. Jadi dongeng secara substantif memang memberi otoritas penuh pada penuturnya. He he.
ANDE ANDE LUMUT
Al kisah. Ande Ande Lumut si perjaka sopan, ganteng, borju, dan anak pejabat itu, mendeklarasikan diri sedang mencari pendamping hidup (istri) dan siap untuk diunggah-unggahi atau dilamar, ---dalam sistem komunitas patrilenial, lelaki dimungkinkan untuk dilamar. Dan, ritual itu disebut diunggah-unggahi (Jw). Maka, bejibun gadis yang me-regristrasi dan request, termasuk Kleting bersaudara.
Rumah Kleting bersaudara dengan kediaman Ande Ande Lumut terpisah oleh sungai besar. Tentu saja untuk sampai ke kediaman Ande Ande Lumut harus menggunakan jasa penyeberangan. Kleting Non-Kuning,yaitu Kleting Merah, Biru, Hijau, Ungu, dan sebagainya...termasuk juga Kleting Pink, karena sangat berambisi diperistri Ande Ande Lumut, berangkat duluan, meninggalkan si Kleting Kuning, ---di samping sehari-harinya memang mereka sudah membencinya, jealous, cemburu karena kecantikan, keanggunan dan kesantunannya.
Singkat ceritera, sampailah Kleting Non-Kuning bersaudara di tepian sungai itu. Galau karena tidak bisa menyeberang. Dan, tiba-tiba muncullah Yuyu Kangkang si penjaga sungai menawarkan jasa penyeberangan dengan harga “mahal”, sekali dayung sekali cium. Tapi, merekapun pilih pilihan terburuk dari sekian pilihan, yakni bersepakat dengan MoU (memorandum of understanding) itu. Dan, Mou bengal itupun dieksekusi. Sampailah Kleting Non-Kuning di Kediaman Ande Ande Lumut.
Sementara itu, Kleting Kuning yang sedari mendengar pengumuman itu kurang tertarik karena sejatinya hatinya telah tertambat pada seseorang perjaka pujaannya yang karena sesuatu terpisahkan tidak tau di mana tempat mkekasihnya itu. Akan tetapi oleh si burung bangau temannya yang notabene jelmaan malaikat utusan Tuhan, menyarankan agar Kleting Kuning mengikuti saja ritual me-ngunggah-unggahi itu, dengan catatan Kleting Kuning memakai make-up yang beraroma tidak enak (tinja). Maka take-of lah Kleting Kuning.
Sesampai tepi sungai itu, ia juga sempat galau melihat lebar dan besaran ombak derasnya . Dan, seperti biasa, Yuyu Kangkang yang doyan perempuan cantik dan matree itu segera menghampirinya. Kleting Kuningpun bernegosiasi agar Yuyu Kangkang bersedia menyeberangkannya dengan harga wajar dan tidak bersyarat neko-neko, syukur-syukur kalau jasa penyeberangannya yang menyangkut human interest bahkan semi-semi darurat ini bernuansa kemanusiaan. Namun, boro-boro Yuyu Kangkang mau menyeberangkan dan menuruti nasihatnya. Maka, angslup berselam kembalilah si Yuyu Kangkang sambil berkata, “Sorry lah yaw, Tingkun (Kleting Kuning).... Kita tak se-MoU, apalagi baumu tinja!”
Bluss. Makin galaulah Kleting Kuning. Namun, lagi-lagi Tuhan, lewat si bangau, datang memberi pertolongan. Diberilah Kleting Kuning sebatang tongkat untuk dipukulkan ke sungai, dan terbelahlah jalan lapang menuju ke kediaman Ande Ande Lumut, yang belakangan diketahui ternyata adalah kekasih lama si Kleting Kuning sendiri. Maka dalam proses seleksi ritual ngunggah-unggahi itu, diterimalah si Kleting Kuning, karena pertimbangan kesetiaan dan moralitas yang dibuktikan dengan keorisinilan atau kevirginitasan. Sementara itu, akhirnya, para Kleting Non-Kuning bersaudara yang kegatelan dan murahan menyerahkan kevirginitasannya itupun ditolak mentah-mentah oleh Ande Ande Lumut dan kecewalah mereka.
YUYU KANGKANG DAN JASA PENYEBERANGAN
Demikian juga ada semacam kehadiran fenomena Yuyu Kangkang dalam serpihan-serpihan seputaran peristiwa banjir besar awal 2014 ini di daerahku sebagai bagian dari pantura timur Jawa Tengah. Kecamatan Gabus dalam semingguan ini hingga sekarang, terisolasi dengan ibukota kabupatennya, Pati kota (jalur Purwodadi-Pati) yang sebenarnya hanya berbatasan dengan sungai Juwana saja, oleh karena banjir dengan bentangan sekitar 3 KM-an. Hanya bis besar dan truk yang mampu lolos. Sementara mobil “reguler” dan sepeda motortidak bisa melintasi banjir. Maka ramailah “bisnis banjir” ala Yuyu Kangkang itu.
Di ujung-ujung jalur banjir di mana berdiri posko-posko sosial dan kemanusiaan berubah juga bak terminal bayangan. Banyak truk-truk penyebrang, banyak maklar, juga banyak pemandu jalan yang berlalu lalang karena aspal jalan banyak yang mengelupas dan menjadi kubangan dalam yang tak terlihat.Sepintas, aktivitas itu tampak membantu, karena mereka berperan sebagai media tercapainya tujuan mobilitas warga. Akan tetapi, jika dicermati lebih jauh, maka jasa penyeberangan itu tak berbeda jauh dengan motivasi dan modus operandi Yuyu Kangkang itu.
Adalah korban banjir, sebanarnya tak hanya bagi yang rumah-rumahnya terendam saja, akan tetapi para pengakses jalan yang terhadang banjir itu juga. Minimal, sebutlah sebagai terdampak banjir ring dua, yang seharusnya juga layak mendapatkan simpati, empati dan pertolongan juga.
Tapi apa?
Justru di tengah-tengah tak berdayanya mereka dan juga Posko-Posko pertolongan itu untuk fasilitasi penyeberangan, justru mereka menjadi obyek bisnis “aji mumpung”, bisnis kesempatan dalam kesempitan, yang notabene mayoritas dimainkan oleh para kaum pemilik modal (pemilik truk-truk). Bayangkan, tarif seberang per orang tanpa motor Rp 10.000 atau dengan sepeda motor plus personsnya mencapai sekitar Rp 50.000 hingga Rp 90.000 dengan jarak tempuh sekitar 3 KM-an maka bagi para pengguna jasa itu merupakan sesuatu yang berat, dan pada sisi lain, seharinya para bisnisman itu justru bahagia mengantongi untung setidaknya satu jutaan. Belum lagi bisnis derek, Rp 300.000 bagi mobil nekat yang mogok di tengah banjir.
Dari kacamata ekonomi, tidak ada yang salah, karena itu bisnis, terbuka dan tidak memaksa. Tapi dimanakah nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab kita, sekarang?
Hmmm. Ngono yo ngono ning ojo ngono, begitu ya begitu tapi jangan terlalu begitu. Entar jadi Yuyu Kangkang, loh... Turunkanlah harga, Bro.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI