Tidak adanya penyebutan bangsa Israel atau Hukum Taurat di dalam narasi.
Ayub sendiri bertindak sebagai imam bagi keluarganya (Ayub 1:5), yang merupakan ciri khas era patriarkal (masa bapa leluhur).
Umur Ayub yang sangat panjang (140 tahun) juga sesuai dengan masa hidup tokoh-tokoh kuno dalam tradisi Alkitab.
Dalam prolog Kitab Ayub (pasal 1-2), Ha Satan muncul di antara para "anak-anak Allah" (b'nai Elohim) di hadapan Tuhan, menerima izin untuk menguji keimanan Ayub. Peran ini dengan jelas menempatkan Ha Satan sebagai Agen Ilahi yang bertugas menguji (seorang jaksa penuduh di istana surgawi), dan bukan sebagai musuh abadi Tuhan.
Titik Balik Evolusi: Pengaruh Dualisme Persia
Konsep Ha Satan sebagai penuduh yang masih berada dalam kedaulatan Tuhan tidak statis. Evolusi kunci menuju figur "Setan" yang kita kenal terjadi selama dan setelah Pembuangan Babel (abad ke-6 SM). Pada periode ini, pemikiran Yahudi bersentuhan dengan ajaran Zoroastrianisme Persia, yang memiliki kosmologi dualistik yang jelas: dewa kebenaran, Ahura Mazda, melawan dewa kejahatan, Angra Mainyu (atau Ahriman).
Pengaruh pemikiran ini sangat mendalam. Konsep kejahatan pun mulai dilihat bukan hanya sebagai ujian dari Tuhan, tetapi sebagai kekuatan kosmik yang memberontak dan berlawanan dengan Tuhan. Figur "Sang Penuduh" (Ha Satan) pun mengalami transformasi dalam sastra Yahudi pasca-pembuangan (misalnya dalam kitab Zakharia) dan terutama dalam literatur antara-perjanjian (Intertestamental literature), perlahan-lahan berubah dari seorang jaksa di surga menjadi penguasa kegelapan dan musuh utama Tuhan.
Perjalanan Kanonik Lintas Iman dan Adaptasi dalam Islam
Peran penting Kitab Ayub sebagai catatan awal ini diakui oleh berbagai tradisi. Para Bapa Gereja memasukkan Kitab Ayub ke dalam kanon Perjanjian Lama. Meskipun jumlah kitab Perjanjian Lama berbeda di antara denominasi, Kitab Ayub diterima secara universal, menegaskan statusnya sebagai sumber utama untuk memahami evolusi figur ini.
Konsep yang telah berkembang ini kemudian diserap oleh tradisi Kristen dan Islam. Dalam Islam, kata syaitan () memang secara etimologis merupakan adaptasi dari kata Ibrani sn. Namun, penting untuk dicatat bahwa Al-Qur'an memberikan perkembangan teologisnya sendiri yang kaya. Figur Iblis (yang sering disamakan dengan as-syaitn ar-rajm atau "setan yang terkutuk") diceritakan secara detail penolakannya untuk sujud kepada Adam atas perintah Allah, yang menekankan dosa kesombongan (kibr) sebagai sifat utamanya. Jadi, meski berbagi akar linguistik, konsep syaitan dalam Islam bukanlah impor mentah-mentah, melainkan memiliki penekanan doktrinal yang unik.
Dari dunia Islam, konsep ini kemudian menyebar ke Nusantara melalui perdagangan dan dakwah, diserap ke dalam bahasa Melayu-Riau menjadi "Setan" dengan membawa serta lapisan makna teologis yang telah dikembangkan selama ribuan tahun.