OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pendahuluan: Siapakah Tokoh "Seram" Ini?
Selamat datang, sahabat, pada sesi bedah etimologi yang sedikit "seram" kali ini. Kita akan membedah salah satu figur spiritual yang paling dikenal di dunia: Setan. Namun, bukan sebagai makhluk mitologi semata, melainkan sebagai sebuah konsep yang telah berevolusi seiring perjalanan lintas budaya dan bahasa selama ribuan tahun, dari padang gurun Ibrani kuno hingga ke kepulauan Melayu-Riau.
Mengapa kita menyebut materi ini seram? Karena kita akan membongkar citra universalnya hingga ke akar-akarnya---yakni istilah "Ha Satan" dalam bahasa Ibrani, yang menyimpan makna sangat berbeda dari yang kita bayangkan.
Asal-Usul Etimologis: Ketika 'Setan' Belum Jadi Musuh Utama
Secara bahasa, kata "Setan" yang kita kenal dalam Bahasa Indonesia/Melayu sesungguhnya adalah serapan dari kata Arab, syaiton (atau as-syaiton), yang kemudian diserap ke dalam dialek Melayu-Riau. Kata Arab ini sendiri diyakini merupakan adaptasi dari kata "Ha Satan" dalam bahasa Ibrani.
Di sinilah letak kejutan linguistiknya. Pertanyaan mendasar yang jarang disorot adalah: apa arti harfiah Ha Satan dalam bahasa Ibrani?
Menurut studi linguistik Alkitab (seperti yang tercatat dalam kamus Ibrani Strong's Concordance), kata Ibrani  (sn) memiliki arti dasar "musuh," "penentang," atau "penuduh" (adversary/accuser). Fakta penting lainnya adalah keberadaan imbuhan "Ha" (). Dalam bahasa Ibrani, Ha adalah definite article yang berarti "sang" atau "itu" (seperti The dalam bahasa Inggris). Jadi, Ha Satan secara harfiah berarti "Sang Penentang" atau "Sang Penuduh". Ini menegaskan bahwa pada awal kemunculannya, "Setan" lebih merupakan sebuah peran atau jabatan fungsional---yaitu sosok yang tugasnya menentang atau menguji manusia di hadapan Tuhan---bukan nama diri untuk entitas kejahatan absolut.
Kontekstualisasi Sejarah: Bukti Tertua di Kitab Ayub
Catatan tertua mengenai sosok Ha Satan yang berperan sebagai entitas supernatural termaktub dalam Kitab Ayub (Iyov).
Kitab Ayub sering dianggap oleh sebagian tradisi sebagai salah satu dokumen tertua dalam Tanakh (Perjanjian Lama). Pendapat ini didukung oleh beberapa indikasi tekstual yang menunjukkan bahwa latar belakang cerita Ayub berasal dari masa yang sangat kuno, jauh sebelum terbentuknya Hukum Taurat secara terperinci. Buktinya mencakup: