"Wong kang ngerti malah ora omong. Wong kang omong malah ora ngerti." (Orang yang tahu malah tidak berbicara. Orang yang berbicara malah tidak tahu.)
Membaca buku non-fiksi mendalam, sejarah, atau filsafat adalah jalan untuk mencapai ngerti (pemahaman mendalam). Ini adalah cara untuk melawan miopi kebijakan. Membaca membantu pejabat mengadopsi Pendekatan System Thinking, yang melihat masalah bukan sebagai kejadian tunggal, melainkan sebagai bagian dari sistem kompleks yang saling terhubung. Inilah yang membedakan kebijakan yang reaktif (menambal) dengan yang proaktif (mencabut akar masalah).
Â
II. Penawar "Aja Dumeh" dan Pentingnya Humble Leadership
Fenomena pejabat yang lebih bangga memamerkan kemewahan daripada koleksi buku adalah manifestasi dari penyakit mental yang disebut "Aja Dumeh" (Jangan sok).
"Aja dumeh: nggantheng/ayu, kuwat, sugih, kuwasa. Jangan sok: keren, kuat, kaya, kuasa."
Sikap sombong dan abai ini dapat menciptakan "Pygmalion Effect Negatif" di lingkungan kerja dan publik---di mana standar literasi dan etika akan ikut menurun sejalan dengan rendahnya ekspektasi dan perilaku pemimpin.
Buku adalah penangkal paling efektif. Membaca mengajarkan pejabat tentang roda kehidupan dan ketidakabadian kekuasaan:
"Samangsa urip, manuk mangsa semut. Sawuse mati, ganti manuk kang dimangsa semut."
Kesadaran historis dan filosofis ini melahirkan Kerendahan Hati Kepemimpinan (Humble Leadership). Kerendahan hati yang didapat dari refleksi membaca jauh lebih unggul daripada otoritas yang dipaksakan. Ini membuat pejabat menyadari bahwa kemuliaan didapat karena adab, bukan karena keturunan. Membaca adalah latihan andhap asor (kerendahan hati) untuk mengendalikan ego.
Â