Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Darurat Baca Pejabat: Mengapa Buku Lebih Berharga dari Kemewahan dan Kekuasaan Semu

26 September 2025   13:56 Diperbarui: 26 September 2025   18:44 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

OLEH: Khoeri Abdul Muid

"Seberapa dekat pejabat kita dengan buku?"

Pertanyaan ini kembali mencuat ketika warganet ramai menyoroti kebiasaan pejabat yang gemar pamer kemewahan, tetapi hampir tak pernah pamer buku. Ironis. Di tengah hiruk pikuk jabatan yang menuntut kebijaksanaan dan ketajaman nalar, tradisi literasi mendalam justru terpinggirkan.

Padahal, dari bacaanlah lahir gagasan besar yang dibutuhkan untuk memimpin bangsa atau melahirkan kebijakan yang adil. Tanpa literasi atau membaca buku, pejabat hanya melahirkan kebijakan reaktif, dangkal, dan jangka pendek.

Minimnya bacaan di ruang para pejabat juga memberi contoh buruk bagi masyarakat, membuat literasi publik sulit berkembang bila pemimpinnya sendiri abai pada buku. Dukungan terhadap perpustakaan, pustakawan, komunitas literasi, dan dunia pendidikan pun terpinggirkan.

Pertanyaan utamanya adalah: masihkah kita bisa berharap pada kebijakan publik yang berkualitas, jika pejabatnya sendiri jarang membaca buku?

 

I. Mengatasi "Policy Myopia" dan Jebakan Asal Bunyi

Kebijakan yang lahir dari ruang-ruang minim bacaan cenderung hanya respons terhadap tren viral atau tekanan politik sesaat. Pejabat, yang seharusnya menjadi sumber kearifan, justru terjebak dalam lingkaran politik dangkal (dumber politics) seperti yang ditunjukkan oleh The Economist.

Secara akademis, kelemahan ini dikenal sebagai "Policy Myopia" (Miopi Kebijakan)---yaitu kecenderungan pembuat kebijakan untuk hanya fokus pada masalah jangka pendek, mengabaikan konsekuensi jangka panjang dan akar masalah yang lebih dalam.

Dalam konteks filosofi kepemimpinan tradisional, perilaku ini jauh dari ideal. Kita diingatkan oleh petuah leluhur:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun