OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Seberapa dekat pejabat kita dengan buku?"
Pertanyaan ini kembali mencuat ketika warganet ramai menyoroti kebiasaan pejabat yang gemar pamer kemewahan, tetapi hampir tak pernah pamer buku. Ironis. Di tengah hiruk pikuk jabatan yang menuntut kebijaksanaan dan ketajaman nalar, tradisi literasi mendalam justru terpinggirkan.
Padahal, dari bacaanlah lahir gagasan besar yang dibutuhkan untuk memimpin bangsa atau melahirkan kebijakan yang adil. Tanpa literasi atau membaca buku, pejabat hanya melahirkan kebijakan reaktif, dangkal, dan jangka pendek.
Minimnya bacaan di ruang para pejabat juga memberi contoh buruk bagi masyarakat, membuat literasi publik sulit berkembang bila pemimpinnya sendiri abai pada buku. Dukungan terhadap perpustakaan, pustakawan, komunitas literasi, dan dunia pendidikan pun terpinggirkan.
Pertanyaan utamanya adalah: masihkah kita bisa berharap pada kebijakan publik yang berkualitas, jika pejabatnya sendiri jarang membaca buku?
Â
I. Mengatasi "Policy Myopia" dan Jebakan Asal Bunyi
Kebijakan yang lahir dari ruang-ruang minim bacaan cenderung hanya respons terhadap tren viral atau tekanan politik sesaat. Pejabat, yang seharusnya menjadi sumber kearifan, justru terjebak dalam lingkaran politik dangkal (dumber politics) seperti yang ditunjukkan oleh The Economist.
Secara akademis, kelemahan ini dikenal sebagai "Policy Myopia" (Miopi Kebijakan)---yaitu kecenderungan pembuat kebijakan untuk hanya fokus pada masalah jangka pendek, mengabaikan konsekuensi jangka panjang dan akar masalah yang lebih dalam.
Dalam konteks filosofi kepemimpinan tradisional, perilaku ini jauh dari ideal. Kita diingatkan oleh petuah leluhur: