OLEH: Khoeri Abdul Muid
"Samangsa urip, manuk mangsa semut. Sawuse mati, ganti manuk kang dimangsa semut."
(Semasa hidup, burung memangsa semut. Setelah mati, ganti burung yang dimangsa semut.)
--- Pitutur Jawa
Fenomena "job hugging" yang ramai diperbincangkan akhir-akhir ini---di mana pekerja bertahan di posisinya bukan karena passion, melainkan demi rasa aman semata---bukan sekadar statistik tenaga kerja. Lebih dari itu, ia adalah cermin dari krisis makna kerja di zaman modern. Presiden KSPI Said Iqbal menyoroti bahwa fenomena ini banyak dialami lulusan sarjana, yang terjebak antara ketidakpuasan dan ketakutan akan ketidakpastian.
Jika kita mencermati, krisis ini sesungguhnya bersumber pada pemutusan hubungan antara "bekerja" dengan "nilai-nilai luhur kehidupan". Di sinilah, kearifan Pitutur Jawa menawarkan perspektif yang mencerahkan, bukan untuk menghakimi, melainkan untuk mengajak kita semua---pekerja, perusahaan, dan pemangku kebijakan---berintrospeksi.
Job Hugging sebagai Bentuk Kehilangan "Wani Ngalah"
Salah satu ajaran utama dalam filsafat Jawa adalah "Kudu andhap asor, wani ngalah luhur wekasane" (Harus rendah hati, berani mengalah akan berujung keluhuran). Job hugging, dalam sudut pandang ini, bisa dilihat sebagai ketidakberanian untuk wani ngalah---untuk rela melepaskan zona nyaman sementara guna mengejar kemungkinan yang lebih baik di masa depan.
Pekerja yang terjebak memilih untuk "bertahan" secara fisik, tetapi sebenarnya "mundur" secara mental dan spiritual. Mereka takut pada kangelan (kesulitan) yang mungkin ditemui jika memulai hal baru. Padahal, seperti diajarkan dalam pitutur luhur, "Wong kudu gelem kangelan". Keberhasilan sejati tidak hadir tanpa kesanggupan menempuh jalan terjal.
Paradigma yang Keliru: Mencari Pasangan Kerja yang "Cocok"
Nasihat bijak dalam kearifan Jawa tentang hubungan rumah tangga ternyata sangat relevan dengan dunia kerja: "Aja golek pasangan kang cocok. Ananging dadia pasangan kang cocok" (Jangan mencari pasangan yang cocok. Tetapi jadilah pasangan yang cocok).
Selama ini, banyak pekerja berfokus pada pencarian "pekerjaan impian" yang seratus persen sesuai dengan keinginannya. Ketika tidak ditemukan, mereka memilih untuk "hug" pada pekerjaan yang ada, sambil menggerutu. Paradigma ini keliru. Alih-alih menuntut lingkungan kerja yang ideal terlebih dahulu, nilai-nilai Jawa mengajak kita untuk membangun kapasitas diri sendiri terlebih dulu---untuk "dadia pasangan kang cocok" melalui pengembangan skill, integritas, dan sikap profesional.
Hilangnya "Tepa Selira" dalam Hubungan Industrial
Fenomena job hugging juga menandai defisit tepa selira (tenggang rasa) dalam ekosistem ketenagakerjaan. "Sebagaimana yang kamu kehendaki supaya orang lain perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka," begitu bunyi salah satu wejangan.
Di satu sisi, perusahaan mungkin menuntut loyalitas tetapi lupa menciptakan lingkungan yang menghargai dan memanusiakan karyawan. Upah mungkin diberikan, tetapi pengakuan, peluang berkembang, dan rasa aman psikologis seringkali terabaikan. Di sisi lain, pekerja yang hanya bertahan untuk gaji tanpa memberikan kontribusi terbaiknya juga telah kehilangan rasa tepa selira terhadap tujuan dan kelangsungan perusahaan tempatnya bernaung.
Menyalakan Kembali "Urup" dalam Bekerja
Makna kerja yang sejati, menurut filsafat hidup Jawa, adalah ketika ia bisa menjadi sarana untuk "urup"---untuk menyala dan memberi manfaat. "Urub artinya nyala. Memberi terang dan kehangatan bagi sekitar."
Job hugging adalah kondisi di mana "nyala" itu hampir padam. Pekerja kehilangan gairah, hanya berfungsi sebagai roda penggerak mesin industri. Solusi fundamentalnya adalah dengan menanamkan kembali makna bahwa bekerja adalah bagian dari pengabdian dan aktualisasi diri, di mana setiap individu bisa menemukan kebahagiaan karena bisa berkontribusi, bukan sekadar bertahan.
Menuju Ekosistem Kerja yang "Sugih tanpa Bandha"
Ajaran budaya Jawa, "Sugih tanpa bandha" (kaya tanpa harta), memberikan perspektif akhir yang mendalam. Kekayaan sejati bukan hanya materi. Job hugging lahir dari sistem yang terlalu menitikberatkan pada transaksi materi (bandha) dan mengabaikan kekayaan non-materi seperti kepuasan batin, pengembangan diri, dan hubungan yang saling menghormati.
Sebuah ekosistem kerja yang ideal adalah yang mampu menyeimbangkan kedua hal tersebut. Perusahaan tidak hanya mengejar profit, tetapi juga kesejahteraan holistik karyawannya. Pekerja tidak hanya mengejar gaji, tetapi juga makna dan tujuan dalam setiap tugas yang dikerjakan.
Penutup: Kembali ke Khittah
Fenomena job hugging mengingatkan kita bahwa kemajuan material harus berjalan beriringan dengan kemajuan spiritual dan moral. Kearifan Pitutur Jawa bukanlah rumusan usang, melainkan kompas yang relevan untuk menjawab kebuntuan zaman modern.
Marilah kita renungkan bersama: Sudahkah kita bekerja dengan "urup"? Sudahkah perusahaan mempraktikkan "tepa selira"? Dan sudahkah kita, sebagai individu, memiliki keberanian untuk "wani ngalah" menuju keluhuran hidup yang sesungguhnya?
"Gusti ora sare," Tuhan tidak pernah tidur. Setiap pilihan kerja kita hari ini akan menentukan kualitas hidup kita di masa depan. Sudah saatnya kita beralih dari sekadar "memeluk jabatan" menuju "memeluk makna" dalam setiap hela napas dan detak karier kita.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI