OLEH: Khoeri Abdul Muid
Pembukaan: Bisikan dari Dalam dan Dorongan dari Luar
Pernahkah Anda merasa seperti tanaman yang tumbuh terlalu besar untuk potnya? Akarnya tercekik, pertumbuhannya terhambat, dan setiap hari terasa semakin sesak.
Itulah yang saya alami di usia 30-an, saat masih menjadi guru di SMA favorit. Dari luar, tampak mapan. Namun di dalam, dua kegelisahan saling bersahutan: suara hati yang rindu ruang baru untuk menyalurkan passion dalam mengelola program pendidikan menengah bonafide, dan desakan keluarga agar saya segera memiliki posisi aman sebagai PNS.
Kisah ini bukan tentang membenci pekerjaan lama---justru saya mencintainya. Ini tentang menjawab panggilan jiwa sekaligus memenuhi harapan orang terkasih. Saat kesempatan terakhir mendaftar PNS terbuka, meski hanya untuk formasi SPG di sebuah SD pelosok, saya memilih melangkah. Saya sadar, kebahagiaan bukan sesuatu yang ditunggu, tapi sesuatu yang ditempa. Dan di situlah perjalanan baru dimulai.
Bagian Pahit: Melepas Topeng, Menyambut Kerendahan Hati
Jalan ini lebih terjal dari bayangan. Ego saya runtuh lebih cepat dari yang diduga. Dari yang dulu dipanggil "Pak Guru SMA Favorit Nasional" dengan segudang kurikulum, kini saya kembali jadi guru kelas SD di pegunungan, sekaligus staf administrasi yang harus berurusan dengan tumpukan arsip berdebu.
Hari pertama gaji masuk, saya terdiam menatap slip. Angkanya hanya seperempat dari penghasilan lama. Dalam perjalanan pulang, saya menuntun motor tua---pengganti mobil yang sudah dijual. Angin sore berdesir, membawa bisikan lirih: "Benarkah ini pilihan yang tepat?"
Momen-momen itu pahit, sepahit brotowali. Namun, saya teringat piwulang andhap asor---ajaran rendah hati dari guru SPG saya dulu. Ijazah hanyalah tiket masuk, bukan jaminan hebat. Di medan baru ini, saya harus rela jadi murid lagi. Rekan-rekan muda yang dulu mungkin saya anggap "junior", kini justru saya pandang sebagai guru yang bisa saya pelajari ilmunya.
Bagian Manis: Akar Baru di Tanah yang Baru
Proses adaptasi memang penuh peluh: lembur hingga larut hanya untuk memahami sistem administrasi, penghematan dengan kendaraan seadanya, dan melepaskan kenyamanan lama. Saya berpegang pada prinsip Jawa: wong kudu gelem kangelan---orang harus berani menanggung kesulitan.