Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Dendam Singhasari: Api Terakhir Majapahit [6-10]

11 September 2025   21:15 Diperbarui: 11 September 2025   21:15 13
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by ai/kam

OLEH: Khoeri Abdul Muid

[PERTEMPURAN TIGA API & TAWANAN TAKHTA]

Dari puncak bukit, pemandangan itu bagaikan sebuah lukisan epik nan mengerikan. Istana Kediri, yang kemarin masih megah, kini menjadi pusaran kekacauan. Pasukan Mongol---disiplin, brutal, dan tak kenal ampun---menerjang seperti gelombang pasang yang tak henti. Mereka membentuk formasi-formasi tempur yang rumit, mengepung dan mencabik-cabik pertahanan Kediri yang kian limbung. Di bawah komando para bupati dan senapati yang setia, pasukan Kediri bertahan mati-matian, memperebutkan setiap jengkal tanah, setiap lorong, setiap menara. Mereka bertarung untuk tanah air mereka, sementara Mongol bertarung untuk kemuliaan dan penaklukan.

"Lihatlah, Tuanku," gumam Nambi, matanya menyapu medan pertempuran dengan analitis. "Mongol unggul di lapangan terbuka, tapi prajurit Kediri lebih mengenal setiap sudut istana mereka. Ini seperti melihat harimau melawan ular boa. Saling menjerat."

"Biarkan mereka saling menjerat," jawab Raden Wijaya, suaranya datar dan dingin. "Semakin lama mereka bertarung, semakin lemah keduanya. Kita hanya perlu menunggu ular dan harimau itu kehabisan tenaga."

Lembu Sora, yang tidak bisa diam melihat pertempuran, meremas gagang pedangnya. "Tapi tidak bisakah kita serang sekarang, Tuanku? Memukul mereka berdua sekaligus saat mereka lengah?"

"Tidak, Sora," tegas Raden Wijaya. "Itu akan menyatukan mereka kembali melawan kita, musuh bersama yang baru. Kita harus pastikan salah satu benar-benar tumbang lebih dulu. Dan yang tersisa, akan kita habisi dengan mudah."

Strateginya adalah kesabaran. Sebuah kesabaran yang kejam.

Hari berganti, pertempuran berlanjut tanpa jelas siapa yang unggul. Istana Kediri perlahan berubah menjadi puing berdarah. Namun, perlahan, disiplin dan taktik Mongol mulai unggul. Pasukan Kediri, meskipun berjuang dengan gagah berani, kewalahan oleh serangan tanpa henti dan persenjataan yang lebih unggul.

Titik baliknya terjadi ketika gerbang utama istana akhirnya jebol oleh batu-batu besar yang dilempar oleh mesin pengepung Mongol. Dengan teriakan kemenangan, Ike Mise memimpin serangan langsung ke dalam jantung istana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun