OLEH: Khoeri Abdul Muid
[PERTEMPURAN TIGA API & TAWANAN TAKHTA]
Dari puncak bukit, pemandangan itu bagaikan sebuah lukisan epik nan mengerikan. Istana Kediri, yang kemarin masih megah, kini menjadi pusaran kekacauan. Pasukan Mongol---disiplin, brutal, dan tak kenal ampun---menerjang seperti gelombang pasang yang tak henti. Mereka membentuk formasi-formasi tempur yang rumit, mengepung dan mencabik-cabik pertahanan Kediri yang kian limbung. Di bawah komando para bupati dan senapati yang setia, pasukan Kediri bertahan mati-matian, memperebutkan setiap jengkal tanah, setiap lorong, setiap menara. Mereka bertarung untuk tanah air mereka, sementara Mongol bertarung untuk kemuliaan dan penaklukan.
"Lihatlah, Tuanku," gumam Nambi, matanya menyapu medan pertempuran dengan analitis. "Mongol unggul di lapangan terbuka, tapi prajurit Kediri lebih mengenal setiap sudut istana mereka. Ini seperti melihat harimau melawan ular boa. Saling menjerat."
"Biarkan mereka saling menjerat," jawab Raden Wijaya, suaranya datar dan dingin. "Semakin lama mereka bertarung, semakin lemah keduanya. Kita hanya perlu menunggu ular dan harimau itu kehabisan tenaga."
Lembu Sora, yang tidak bisa diam melihat pertempuran, meremas gagang pedangnya. "Tapi tidak bisakah kita serang sekarang, Tuanku? Memukul mereka berdua sekaligus saat mereka lengah?"
"Tidak, Sora," tegas Raden Wijaya. "Itu akan menyatukan mereka kembali melawan kita, musuh bersama yang baru. Kita harus pastikan salah satu benar-benar tumbang lebih dulu. Dan yang tersisa, akan kita habisi dengan mudah."
Strateginya adalah kesabaran. Sebuah kesabaran yang kejam.
Hari berganti, pertempuran berlanjut tanpa jelas siapa yang unggul. Istana Kediri perlahan berubah menjadi puing berdarah. Namun, perlahan, disiplin dan taktik Mongol mulai unggul. Pasukan Kediri, meskipun berjuang dengan gagah berani, kewalahan oleh serangan tanpa henti dan persenjataan yang lebih unggul.
Titik baliknya terjadi ketika gerbang utama istana akhirnya jebol oleh batu-batu besar yang dilempar oleh mesin pengepung Mongol. Dengan teriakan kemenangan, Ike Mise memimpin serangan langsung ke dalam jantung istana.