Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Infobesia

Bertugas di Gabus, Pati, Jateng. Direktur sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. Redaktur Media Didaktik Indonesia [MDI]: bimbingan belajar, penerbit buku ber-ISBN dan mitra jurnal ilmiah bereputasi SINTA. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Dendam Singhasari: Api Terakhir Majapahit [1-10]

11 September 2025   14:46 Diperbarui: 11 September 2025   14:46 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by ai/kam

OLEH: Khoeri Abdul Muid

[DENDAM YANG MEMBARA]

Langit di atas Singhasari pada senja itu bagai terbakar. Bukan jingga keemasan yang damai, melainkan jingga kekuningan yang suram dan getir, laksana luka lama yang tak kunjung sembuh.

Angin menyapu bau anyir darah dan asap, menggantikan alunan gamelan dengan pekik terompet perang dan jeritan yang menyayat.

Di sebuah ruang strategi istana yang nyaris runtuh, Raden Wijaya membentangkan peta yang compang-camping. Wajahnya coreng-moreng, tapi sorot matanya masih membara bak bara dalam sekam.

"Mereka menyerang dari dua arah, Tuanku!" seru Lembu Sora, pengawal setianya, yang baru saja masuk dengan nafas terengah. "Utara dan Selatan! Kebo Mundarang sendiri yang memimpin dari utara!"

"Ini jebakan..." desis Raden Wijaya, tinjunya menghantam meja kayu jati. "Jayakatwang tidak cukup cerdik untuk merancang strategi semacam ini. Pasti ada pikiran lain di baliknya."

Dari sudut ruangan, Nambi, si ahli strategi yang tenang, mengangkat kepala. "Arya Wiraraja, Tuanku. Kabar burung mengatakan dialah yang merancang serangan ini untuk Jayakatwang."

"Wiraraja?" Raden Wijaya mengerutkan kening. "Tikus tua licik itu! Ilmunya ia jual kepada siapa saja yang sanggup membayar harga tertinggi. Dan kini, harganya adalah darah Singhasari!"

Tiba-tiba, pintu terbanting. Seorang prajurit muda, wajahnya pucat bagai kain kafan, berlutut.
"Tuanku! Gerbang utama... jatuh! Mereka sudah masuk ke pelataran istana! Prabu Kertanegara... beliau...!"

Dia tak sanggup melanjutkan. Air mata mengalir di pipanya yang kotor, bercampur debu dan keringat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun