OLEH: Khoeri Abdul Muid
[DENDAM YANG MEMBARA]
Langit di atas Singhasari pada senja itu bagai terbakar. Bukan jingga keemasan yang damai, melainkan jingga kekuningan yang suram dan getir, laksana luka lama yang tak kunjung sembuh.
Angin menyapu bau anyir darah dan asap, menggantikan alunan gamelan dengan pekik terompet perang dan jeritan yang menyayat.
Di sebuah ruang strategi istana yang nyaris runtuh, Raden Wijaya membentangkan peta yang compang-camping. Wajahnya coreng-moreng, tapi sorot matanya masih membara bak bara dalam sekam.
"Mereka menyerang dari dua arah, Tuanku!" seru Lembu Sora, pengawal setianya, yang baru saja masuk dengan nafas terengah. "Utara dan Selatan! Kebo Mundarang sendiri yang memimpin dari utara!"
"Ini jebakan..." desis Raden Wijaya, tinjunya menghantam meja kayu jati. "Jayakatwang tidak cukup cerdik untuk merancang strategi semacam ini. Pasti ada pikiran lain di baliknya."
Dari sudut ruangan, Nambi, si ahli strategi yang tenang, mengangkat kepala. "Arya Wiraraja, Tuanku. Kabar burung mengatakan dialah yang merancang serangan ini untuk Jayakatwang."
"Wiraraja?" Raden Wijaya mengerutkan kening. "Tikus tua licik itu! Ilmunya ia jual kepada siapa saja yang sanggup membayar harga tertinggi. Dan kini, harganya adalah darah Singhasari!"
Tiba-tiba, pintu terbanting. Seorang prajurit muda, wajahnya pucat bagai kain kafan, berlutut.
"Tuanku! Gerbang utama... jatuh! Mereka sudah masuk ke pelataran istana! Prabu Kertanegara... beliau...!"
Dia tak sanggup melanjutkan. Air mata mengalir di pipanya yang kotor, bercampur debu dan keringat.