Pak Budi menyalakan televisi dengan tangan gemetar. Berita sore itu terasa lebih dingin dari biasanya. Suara pembaca berita mengumumkan putusan Mahkamah Konstitusi.
"Frasa empat pilar berbangsa dan bernegara tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat."
Tubuh Pak Budi lunglai di sofa. Di atas meja jati, di antara tumpukan buku, tergeletak buku bersampul merah berjudul "Empat Pilar Kebangsaan: Pilar Kokoh Penyangga Ibu Pertiwi". Buku itu adalah bagian dari hidupnya---keringat dan keyakinannya selama bertahun-tahun seolah menguap bersama kalimat final hakim konstitusi. Ini bukan sekadar kekalahan ideologis, ini penolakan terhadap warisan yang ia yakini.
Ia memejamkan mata, mengingat hari-hari saat istilah itu lahir. Sebagai bagian dari MPR, ia dan teman-temannya menyederhanakan konsep-konsep luhur agar mudah dipahami rakyat. "Pancasila itu pondasi, UUD 1945 tiangnya, NKRI atapnya, dan Bhinneka Tunggal Ika penghuninya," ia selalu mengulang metafora itu. Rasanya begitu logis dan sempurna.
"Tapi ternyata," gumamnya pelan, "semua itu hanya omong kosong."
Tiba-tiba, bel pintu berbunyi. Pak Budi tahu siapa itu. Hanya satu orang yang selalu datang tanpa pemberitahuan.
"Pak Budi!" Suara Rizky, mahasiswa hukum yang biasa membantunya merapikan arsip, terdengar riang. "Akhirnya putusan MK keluar! Saya lega, Pak!"
Pak Budi hanya menunjuk sofa di seberangnya. Rizky duduk, pandangannya langsung tertuju pada buku bersampul merah di atas meja. Ia tidak perlu bertanya; ia tahu apa yang dipikirkan Pak Budi.
"Kenapa, Pak?" tanya Rizky, nadanya berubah serius. "Bapak kecewa?"
"Rizky," Pak Budi membuka mata. Ia menatap pemuda di depannya, semangat dan idealismenya masih membara. "Bapak hanya ingin mempermudah. Apa salahnya?"
Rizky mencondongkan tubuh. "Bapak bilang 'mempermudah', tapi yang terjadi malah membingungkan. Pancasila itu fondasi, Pak, bukan sekadar salah satu pilar. Kita tidak bisa menyamakannya dengan UUD, NKRI, atau Bhinneka Tunggal Ika. Pancasila adalah jiwa dari semuanya."