OLEH: Khoeri Abdul Muid
Malam itu, dinginnya udara Desa Cempaka Mulya menusuk hingga ke tulang, tapi tak mampu meredam riuh rendah perayaan. Panggung wayang kulit berdiri megah di lapangan desa, diterangi lampu blencong yang berkobar-kobar. Gamelan bertalu-talu menggetarkan bumi, dan suara sinden melengking indah menyayat langit malam.
Ki Wibisono, dalang kesayangan warga, dengan suara menggema sedang membawakan lakon Kresna Duta. Para penonton terhanyut, larut dalam setiap gerak dan dialog para punakawan.
Bima duduk membeku di barisan paling depan, diapit oleh Ardi, Nando, dan Wawan. Mereka adalah penggemar fanatik Ki Wibisono; bagi mereka, wayang bukan sekadar tontonan, tapi napas kehidupan. Saat gamelan menggema mengiringi perang kembang---sebuah tarian ritual dimana kesatria gagah berani melawan buto cakil yang jelak---Bima sempat menoleh untuk berbagi decak kagum.
Darahnya seolah membeku. "Nando mana?" suaranya parau, nyaris kalah oleh gemuruh sorak penonton.
Ardi dan Wawan ikut menoleh ke kiri-kanan, tapi kursi Nando kosong, hanya tinggal bayang-bayang yang tercecer. "Mungkin ke warung, cari kopi anget," ujar Ardi, mencoba tenang.
"Atau ke jamban, menahan serangan buto di perutnya," tambah Wawan, terkekeh paksa.
Namun, hingga lakon usai dan Ki Wibisono menutup kelir dengan tabir doa, Nando tak juga kembali. Mereka membelah kerumunan penonton yang membubarkan diri, mencari ke warung-warung yang sudah tutup, ke tempat parkir yang sepi, hingga ke tepi sungai yang hanya disinari bulan sabit. Hasilnya nihil. Malam itu mereka pulang dengan langkah gontai dan dada digelayuti resah yang pekat.
Keesokan harinya, keresahan itu membeku menjadi panik. Maryam, istri Nando, datang dengan wajah pucat bagai kain kafan dan mata yang sembap.
"Bima... Ardi... Wawan... Nando belum pulang," suaranya gemetar, nyaris tak terdengar.
Ketiganya berpandangan, bisu. Akhirnya, dengan langkah berat, mereka mendatangi gubuk reyek Mbah Kasno, sesepuh desa yang diyakini masih menyimpan kearifan dan mata batin yang tajam.
Di bawah cahaya lampu teplok yang menari-nari, mengundang bayangan-bayangan aneh di dinding bambu, Mbah Kasno duduk bersila. Bibirnya berkomat-kamit membisikan mantra-mantra tua. Hening mencekam, hanya diselingi derit jangkrik. Lalu, kedua matanya yang keruh itu terbuka perlahan, menatap mereka dengan tajam.
"Nando ada di Bukit Angker," ucapnya lirih bagai desisan angin malam. "Dia ditahan oleh Nenek Penunggu hutan itu. Tempat itu... jangan sekali-kali kalian dekati. Bukan untuk manusia yang masih bernapas."