Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

REKTOR sanggar literasi CSP [Cah_Sor_Pring]. REDAKTUR Penerbit Media Didaktik Indonesia [MDI] (Anggota Perpusnas, Penerbit Buku Ber-ISBN, Penerbit Artikel di jurnal terakreditasi SINTA). E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id atau khoeriabdul2006@gmail.com HP 081326649770

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Langkah yang Terlambat

27 November 2024   17:14 Diperbarui: 27 November 2024   17:20 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi "Langkah yang Terlambat". dokpri

OLEH: Khoeri Abdul Muid

Andi duduk sendirian di pojok kafe, tatapannya kosong menembus jendela kaca yang mulai kusam. Di luar, hujan rintik turun, menciptakan irama yang tidak bisa menenangkan pikirannya. Kopi di depannya hampir habis, namun pikirannya terjerat jauh dari secangkir minuman itu.

Tadi pagi, ia menerima pesan dari Adit, sahabatnya yang telah lama terdiam. "Kita butuh bicara, Andi. Segera."

Tiga hari berlalu, dan Andi tidak bisa membawa dirinya untuk merespons. Hatinya dipenuhi penyesalan, mengenang kata-kata yang tak bisa kembali. "Kenapa aku selalu menunggu waktu yang tepat?" bisiknya pada diri sendiri. "Kenapa tidak sekarang?"

Adit dan Andi selalu lebih dari sekadar sahabat. Mereka seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Namun satu kejadian---sebuah percakapan panas yang terjadi setahun lalu---merusak segalanya. Andi ingat jelas, bagaimana kata-kata kasar terlontar begitu saja dalam ledakan emosi yang tak terkendali. "Aku cuma marah, tidak bermaksud menyakitinya," Andi bergumam, meski hatinya tahu itu bukan alasan yang cukup.

Adit tak langsung membalas kata-kata pedas Andi, tapi keduanya merasa ada jarak yang tercipta. Andi berharap waktu bisa menyembuhkan luka. Namun, semakin lama ia menunggu, semakin dalam rasa bersalah itu menggigit hatinya. Setiap kali mengingat Adit, hatinya terasa terhimpit, seperti menanggung beban yang tak bisa lepas.

Hari itu, Andi akhirnya memutuskan untuk bertemu dengan Adit. Mereka sepakat di kafe yang biasa mereka kunjungi. Ketika Andi tiba, Adit sudah duduk di sana, wajahnya yang dulu penuh tawa kini tampak serius, ada gurat kesedihan yang sulit disembunyikan.

Andi merasa jantungnya berdebar kencang, langkahnya terasa berat. "Adit..." suaranya tercekat. Ia ingin berkata lebih banyak, tapi kata-kata itu tersangkut di tenggorokannya.

Adit menatapnya dengan pandangan yang dalam, tidak berbicara seketika. Diamnya sudah cukup menyakitkan.

"Apa yang terjadi, Adit? Kenapa kita bisa sampai di sini?" tanya Andi, mencoba membuka percakapan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun