"Lanjut! Dina!" seru Kak Adit, tiba-tiba, seolah waktu yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Semua mata kini tertuju padanya.
Dina berdiri kaku, seakan-akan tanah di bawahnya bisa runtuh kapan saja. Ia melangkah maju, mendengar jantungnya berdetak keras di telinganya. Semua orang menunggu. Sekarang atau tidak sama sekali, pikirnya.
Suaranya gemetar saat dia mulai bicara, "Aku... aku... masih mencari motto hidupku."
Semua terdiam. Tak ada yang bersuara. Dina menelan ludah, mencoba memahami reaksi teman-temannya. Apakah mereka akan menertawakannya? Tapi kemudian, di balik keheningan yang membingungkan itu, sebuah suara tiba-tiba terdengar.
"Wow," seru Kak Adit, "kamu tahu, Dina? Itu mungkin motto hidup paling jujur yang pernah aku dengar."
Seketika, tawa dan bisikan pecah di seluruh ruangan, tapi kali ini berbeda. Bukan tawa mengejek, melainkan tawa kagum. Beberapa teman sekelasnya bahkan mengangguk setuju.
"Keren, Dina!" Rina bersorak. "Kamu jujur banget!"
Kak Adit berjalan mendekat, matanya berbinar, "Mencari motto hidupmu? Itu hebat. Hidup memang perjalanan, dan setiap langkah yang kamu ambil adalah bagian dari pencarianmu." Ia menepuk pundak Dina dengan bangga.
Namun, di balik semua tepuk tangan dan pujian itu, Dina merasa ada sesuatu yang lebih besar menantinya. Bukan sekadar motto hidup untuk MPLS, tapi sebuah tujuan hidup yang belum terwujud.
Apakah itu sudah cukup? Apakah benar ini hanya awal dari pencariannya, atau mungkin ia sebenarnya telah menemukannya tanpa menyadarinya?
Sampai kapan Dina akan mencari?