Mohon tunggu...
Khoeri Abdul Muid
Khoeri Abdul Muid Mohon Tunggu... Administrasi - Infobesia

Sebelum diangkat menjadi abdi negeri, pernah mengajar di SMA TARUNA NUSANTARA MEGELANG. Sekarang mengguru di SDN Kuryokalangan 01, Dinas Pendidikan Kabupaten Pati Jawa Tengah, UPTKecamatan Gabus. Sebagian tulisan telah dibukukan. Antara lain: OPINI GRASSROOT SOAL PENDIDIKAN GRES; Si Playboy Jayanegara dan Bre Wirabhumi yang Terpancung. E-mail: bagusabdi68@yahoo.co.id. HP (maaf SMS doeloe): 081226057173.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Olahraga dan Efek Karambol Hegemoni Bisnis

7 Desember 2016   01:21 Diperbarui: 7 Desember 2016   02:53 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Kemudian, teori konflik yang notabene berasal dari pemikiran Marxis tradisional, menegaskan bahwa olahraga merupakan candu yang membuat orang lari dari persoalan sehari-hari.

Dan, secara kasuistis ada benarnya. Berapa saja pasangan keluarga yang harus bertengkar bahkan bercerai gara-gara kecanduan olahraga, atau setidaknya terkena efek karambolnya, seperti kelana fans club fanatik yang berlebihan, atau perjudian?

Teori ini memandang bahwa organisasi olahraga menanamkan disiplin kerja, mendorong agresi individualisme dan persaingan yang kejam, yang merupakan ciri-ciri yang dianggap menguntungkan bagi keberhasilan ekonomi kapitalis (Brohm, 1978).

Mungkin juga kasuistis, tapi sejarahpun membuktikan, bahwa dibalik gemerlap industri olahraga, telah berapa saja atlet yang harus mengalami cedera abadi atau bahkan mati di medan laga olahraga, karena aroma agresi individualisme dan persaingan yang kejam itu.

Sebutlah, Muhammad Ali, legendaris tinju dunia, yang harus menderita sindrom parkinson yang tak kunjung sembuh, sebelum akhirnya maut menjemputnya. Atau, Duk Koo Kim petinju kelas dunia asal Korea Selatan yang harus mati di ring tinju pada 1982.

Atau, di negeri kita sendiri. Bahwa semenjak merdeka, tidak kurang dari 30 petinju sekarat di atas ring. Mulai dari Jimmy Koko pada 1948 hingga Tubagus Setia Sakti yang bertarung pada 26 Januari 2013, TKO dan koma, serta keesokan harinya tewas di RS UKI Cawang Jakarta.

Kemudian, di cabang balap motor, juga menorehkan catatan kelam dengan kematian Marco Simoncelli, Shoya Tomizawa, Daijiro Kato dan Ivan Palazzese.

Di cabang sepak bola, suatu cabang yang relatif aman, ternyata juga menewaskan banyak pemain top kelas dunia seperti Marc-Vivien Foe pemain Timnas Kamerun pada 2003, Antonio Puerta pemain club Sevilla pada 2007, John Tomson kiper Glasgow Celtic pada 1993, Hugo Cunha club Portugal 2005,Marcio Dos Santos Brasil 2002, Samuel Okwaraji jepang pada 1989 dan masih ada catatan yang lainnya.

Dan, lucunya, di balik realitas tragis itu semua, justru tidak sedikit borju yang bergelimang mengkapitalisasi kekayaan dari olahraga yang dilembagakan itu.

Tengoklah kemegahan kerajaan bisnis olahraga ala promotor nomor wahid dunia, Don King (USA, 1931); Tim-tim perekurt riders Repsol Honda, Fiat-Yamaha, dan juga bos-bos pemilik club sepak bola terkaya di dunia seperti Carlos Slim (Mexico), Amancio Ortega (Spanyol), Alisher Usmanov (Rusia), George Soros (Pria keturunan etnis Yahudi), Paul Allen (Pria yang merupakan pendiri Microsoft). Dan, juga fenomena baru pengusaha Indonesia ErickThohir yang mampu membeli raksasa club Inter Milan.

Dalam kerangka menatap peradaban masa depan, pertanyaan lanjutannya adalah, haruskah pelembagaan olahraga di bawah hegemoni bisnis ini dipertahankan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun