Bahasa dalam karya sastra bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga sarana untuk menyalurkan makna dan keindahan. Dalam bidang stilistika, setiap pilihan kata dianggap memiliki nilai estetik dan fungsional yang khas. Stilistika mempelajari gaya bahasa dan cara penulis memanfaatkan bentuk bahasa untuk membangun makna. Dua unsur penting dalam gaya bahasa figuratif yang sering muncul adalah metafora dan simile. Keduanya berfungsi memperindah bahasa dan memperdalam makna, meskipun berbeda dalam cara menyampaikan perbandingan.
  Metafora merupakan gaya bahasa yang membandingkan dua hal berbeda tanpa menggunakan kata pembanding seperti seperti atau bagai. Perbandingan dalam metafora bersifat langsung dan tidak dijelaskan secara eksplisit. Misalnya, dalam kalimat "waktu adalah uang", penulis tidak bermaksud menyamakan waktu dengan uang secara harfiah. Kalimat tersebut mengandung makna bahwa waktu memiliki nilai tinggi seperti halnya uang. Metafora bekerja dengan cara mentransfer makna dari satu konsep ke konsep lain untuk menciptakan pemahaman baru yang lebih dalam.
  Penggunaan metafora memberikan kekuatan ekspresif yang tinggi dalam bahasa sastra. Dengan metafora, penulis dapat menyampaikan perasaan, gagasan, dan pengalaman yang abstrak menjadi lebih konkret dan imajinatif. Dalam puisi Chairil Anwar "Aku ini binatang jalang", kata binatang jalang merupakan metafora yang menggambarkan sifat bebas, liar, dan pemberontak. Melalui metafora seperti ini, pembaca tidak hanya memahami makna denotatif, tetapi juga merasakan emosi yang kuat dari pilihan kata penyair. Metafora menuntut interpretasi aktif dari pembaca, sehingga menciptakan kedalaman makna yang kompleks.
  Berbeda dengan metafora, simile merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata pembanding secara jelas. Kata-kata seperti seperti, bagai, laksana, atau umpama menjadi ciri khas dari simile. Contohnya, kalimat "wajahnya berseri seperti mentari pagi" menunjukkan perbandingan langsung antara wajah dan mentari. Perbandingan ini bersifat eksplisit dan mudah dipahami pembaca tanpa memerlukan tafsir mendalam. Karena itu, simile sering digunakan untuk memperjelas deskripsi dan menciptakan gambaran yang konkret.
  Fungsi simile dalam karya sastra tidak hanya memperjelas makna, tetapi juga menambah nilai keindahan dan kelembutan bahasa. Ungkapan seperti "lemah lembut bagai sutra" menunjukkan bahwa simile mampu menghadirkan kesan halus dan indah. Simile menuntun pembaca membayangkan hubungan antara dua hal yang dibandingkan secara visual dan emosional. Meskipun terlihat sederhana, simile tetap efektif membangun suasana dan menggambarkan karakter tokoh dalam karya sastra.
  Perbedaan utama antara metafora dan simile terletak pada cara keduanya menghubungkan dua unsur yang dibandingkan. Metafora menyamakan secara langsung tanpa penanda perbandingan, sedangkan simile menggunakan penanda yang eksplisit. Kalimat "hidup adalah perjuangan" merupakan metafora, sedangkan "hidup bagaikan perjuangan panjang" adalah simile. Dari perbedaan tersebut, metafora menuntut interpretasi simbolik, sementara simile menghadirkan makna yang lebih konkret dan mudah ditangkap pembaca.
  Dalam kajian stilistika, kedua bentuk gaya bahasa ini berfungsi memperkaya struktur dan estetika bahasa sastra. Penggunaan metafora memberikan kedalaman makna dan simbolisme, sedangkan simile menambah kejelasan dan citraan visual. Keduanya menunjukkan kreativitas penulis dalam memilih bentuk bahasa yang paling sesuai untuk menyampaikan pesan. Melalui analisis stilistika, pembaca dapat menelusuri bagaimana metafora dan simile membentuk gaya pribadi seorang pengarang.
  Selain dalam karya sastra, metafora dan simile juga banyak digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Ungkapan seperti "hati baja", "pikiran setajam pisau", atau "licin seperti belut" merupakan contoh nyata gaya bahasa figuratif dalam percakapan. Meskipun sering tidak disadari, penggunaan gaya bahasa ini memperkaya ekspresi dan memperhalus makna. Dalam dunia pendidikan, pemahaman terhadap metafora dan simile penting untuk mengembangkan kepekaan berbahasa dan apresiasi sastra.
  Melalui pendekatan stilistika, analisis metafora dan simile membantu pembaca memahami hubungan antara bentuk bahasa dan makna yang dikandungnya. Kedua gaya bahasa ini menunjukkan bahwa bahasa tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membentuk pengalaman estetis. Dengan memahami perbedaan dan fungsinya, kita dapat menghargai bagaimana bahasa bekerja secara kreatif dan simbolik dalam sastra.
  Secara keseluruhan, metafora dan simile sama-sama memperkaya cara manusia mengekspresikan perasaan, pikiran, dan imajinasi. Perbedaannya hanya pada tingkat eksplisit dan kedalaman makna yang dihasilkan. Metafora cenderung simbolik dan menantang pemikiran, sedangkan simile lebih konkret dan mudah dipahami. Melalui keduanya, bahasa menjadi sarana seni yang hidup, memadukan logika dan keindahan dalam satu kesatuan makna.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI