Mohon tunggu...
khaulah lathifah s
khaulah lathifah s Mohon Tunggu... Universitas Mercu Buana

Nama Lengkap: Khaulah Latifah Saajidah Mahasiswa Psikologi – Universitas Mercu Buana (NIM: 46124010138) Dosen Pengampu: Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak. Mata Kuliah: Etik Mercu Buana dan Pendidikan Anti Korupsi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Diskursus 5 Tokoh Pentingnya Berpikir Positif Tentang Kehidupan

17 Oktober 2025   10:55 Diperbarui: 17 Oktober 2025   18:04 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

Kehidupan modern sering kali memaksa manusia berlari tanpa jeda. Kita dikejar oleh tenggat waktu, tuntutan sosial, dan gelombang informasi yang tak kunjung reda. Dalam arus cepat semacam itu, berpikir positif bukan lagi sekadar slogan penyemangat, melainkan kemampuan bertahan adalah sebuah seni menjaga kewarasan dan ketenangan di tengah kekacauan. Namun, berpikir positif yang sejati bukanlah bentuk penyangkalan atas kenyataan. Ia justru berangkat dari kesadaran mendalam bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai keinginan, tetapi manusia selalu memiliki kebebasan untuk memilih cara memandangnya. Gagasan ini sesungguhnya bukan baru; ia berakar dalam tradisi panjang filsafat dan psikologi.
Lima tokoh lintas zaman yaitu Marcus Aurelius, Epictetus, Friedrich Nietzsche, William James, dan Albert Ellis memberikan fondasi yang berbeda, namun saling berkelindan, tentang bagaimana manusia dapat menemukan makna melalui cara berpikir yang sehat. Tulisan ini mencoba menelusuri kembali gagasan-gagasan mereka, sebagaimana terekam dalam presentasi Diskursus Lima Tokoh Pentingnya Berpikir Positif tentang Kehidupan, dan memaknainya kembali dalam konteks manusia masa kini.

Modul Prof. Apollo hal. 4
Modul Prof. Apollo hal. 4
Marcus Aurelius: Latihan Batin dan Ketenangan yang Rasional

Marcus Aurelius (121--180 M), seorang kaisar yang sekaligus filsuf Stoa, hidup di masa penuh gejolak politik dan perang. Namun di tengah situasi itu, ia menulis renungan yang menyejukkan:
"Kamu memiliki kuasa atas pikiranmu, bukan atas kejadian di luar dirimu."
Bagi Aurelius, penderitaan bukan datang dari dunia luar, melainkan dari penilaian batin terhadap dunia itu. Inilah inti ajaran Conversio perubahan arah kesadaran dari luar menuju dalam. Manusia tidak selalu mampu mengendalikan apa yang terjadi, tetapi selalu bisa mengatur bagaimana ia bereaksi.
Dalam latihan Stoik yang disebut Askesis, Aurelius mengajarkan pembedaan dua wilayah kehidupan:
1.Fortuna, segala hal yang berada di luar kendali kita seperti nasib, opini orang lain, keberuntungan, dan situasi.
2.Virtue, segala yang dapat kita kendalikan pikiran, sikap, dan pilihan moral.
Berpikir positif dalam kerangka ini berarti berfokus pada Virtue, bukan tenggelam dalam kekecewaan terhadap Fortuna.

Modul Prof. Apollo hal. 8
Modul Prof. Apollo hal. 8
Refleksi Kasus: Saat Takdir Tidak Sejalan

Bayangkan seorang karyawan yang gagal mendapatkan promosi, padahal telah bekerja keras. Rasa kecewa mudah muncul. Namun dalam pandangan Marcus Aurelius, seseorang harus belajar berkata: "Saya tidak bisa mengubah keputusan pimpinan, tapi saya bisa tetap menjaga sikap profesional dan bekerja dengan baik."
Dengan menerima apa yang tak bisa dikendalikan, seseorang justru menemukan ketenangan. Aurelius menegaskan bahwa kebahagiaan bukanlah hasil dari dunia luar, melainkan buah dari batin yang tertib.
Sensasi dan Emosi: Membedakan yang Alamiah dan yang Diciptakan Pikiran. Marcus juga menekankan pentingnya membedakan sensasi dan emosi. Sensasi adalah reaksi biologis tak dapat dihindari; emosi lahir dari penilaian pikiran terhadap sensasi itu. Saat seseorang disalip kasar di jalan, jantung berdebar adalah sensasi alami, tetapi kemarahan adalah keputusan pikiran. Mereka yang mampu mengatur penilaian batinnya akan bebas dari perbudakan emosi. Seperti ditulis Aurelius: "Balas dendam terbaik adalah tidak menjadi seperti orang yang berbuat buruk padamu."

Modul Prof. Apollo hal. 11
Modul Prof. Apollo hal. 11
Epictetus: Kebebasan Sejati Lahir dari Penguasaan Diri

Epictetus (50--135 M) lahir sebagai budak di Frigia, namun menjadi simbol kebebasan batin dalam sejarah filsafat. Ia menegaskan bahwa manusia tidak akan menderita bila memahami batas kekuasaannya.
"Yang penting bukan apa yang terjadi padamu, tetapi bagaimana kamu menanggapinya."
Epictetus membagi kehidupan dalam dua ranah: hal-hal yang bisa kita kendalikan yaitu pikiran, tindakan, dan kehendak serta hal-hal yang tak bisa kita kendalikan seperti cuaca, reputasi, atau keputusan orang lain.
Kegagalan manusia berpikir positif terjadi ketika ia mencoba menguasai yang tak bisa dikendalikan. Sebaliknya, ketenangan muncul saat kita belajar menyerahkan dunia luar dan berfokus pada pembenahan diri.

Modul Prof. Apollo hal. 13
Modul Prof. Apollo hal. 13
Contoh Nyata: Saat Promosi Tidak Diperoleh

Slide dalam presentasi menampilkan kisah sederhana: seorang karyawan tidak mendapat promosi yang diharapkannya. Ia bisa memilih dua jalan yaitu menyalahkan atasan, atau memperbaiki diri.
Sikap Stoik mengajarkan pilihan kedua: "Saya tidak bisa mengubah keputusan orang lain, tapi saya bisa memperbaiki kinerja saya." Dengan cara ini, ia tidak kehilangan harga diri dan tetap menemukan semangat baru untuk berkembang.
Epictetus menulis dengan tegas:
"Tidak ada manusia yang benar-benar bebas kecuali ia mampu menguasai dirinya."
Kebebasan sejati bukan berarti tak punya batas, melainkan tahu di mana batas itu berada dan berdamai dengannya. Dalam dunia modern yang kian bising, nasihat ini mengajak kita kembali ke pusat kendali: diri sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun