Mohon tunggu...
KHOERUL ARIF
KHOERUL ARIF Mohon Tunggu... Administrasi - Iso ora iso kudu iso

Belajar menulis belajar memaknai hakikat kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wahabi dan NU Tak Mungkin Bersatu (Bagian 1)

18 Juni 2019   11:15 Diperbarui: 18 Juni 2019   11:17 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Baru-baru ini beredar tulisan mengenai KPK yang dikaitkan dengan kelompok celana cingkrang dan jenggotan. Ciri tersebut sering dikaitkan dengan kelompok yang berpemahaman wahabi bahkan diidentikkan dengan Islam radikal. Tulisan tersebut "menarik" dan berhasil memancing berbagai pihak baik dari kanan, kiri, maupun tengah untuk berkomentar.

Diskursus mengenai wahabi menjadi tren saat ini. Entah sejak kapan kata wahabi ini menjadi populer yang pasti secara pribadi sejak penulis duduk di bangku MTs Nahdaltul Ulama (setara SMP) di awal tahun 2000-an kata wahabi sudah diperbincangkan diantara rekan.

Wahabi secara sederhana adalah pemahaman keagamaan yang lahir dan dikembangkan oleh ulama di Arab Saudi. Sebagian kecil pemahaman wahabi yang penulis ketahui adalah terlihat pada praktik ibadah/ritual yang tidak umum dengan ritual/ibadah yang selama ini di praktikkan oleh muslim tradisional  aka nahdliyin di Indonesia. Misalnya wahabi tidak melakukan (atau bisa dikatakan menolak) tahlilan, maulidan dan manaqiban. 

Oleh karena itu, waktu penulis sekolah di madrasah, pemahaman kami sebagai siswa, wahabi itu ya contohnya Muhammadiyah karena amaliyah ibadah warga Muhammadiyah adalah kontra dengan amaliyah ibadah nahdliyin. (Untuk hal ushl aqidah NU dan Muhammadiyah adalah sama).

Sekilas tentang berdirinya NU dan dinamikanya

Sejak berdirinya, NU tidak bisa lepas dari wahabi. Pembentukan NU distimulus karena kalangan Islam tradisional waktu itu yang protes atas sepak terjang wahabi di Arab Saudi. 

Di Buku Ke-Nu-an disebutkan bahwa pemicu berdirinya NU adalah tindakan penguasa baru Arab Saudi di Tahun 1920-an yang berpaham Wahabi yang telah berlebih dalam menerapkan program pemurnian ajaran Islam. 

Kala itu pemerintah Arab Saudi menggusur beberapa petilasan sejarah Islam, seperti makam beberapa pahlawan Islam dengan dalih mencegah kultus individu. Mereka juga melarang kegiatan mauludan, bacaan berzanji, diba'an dan sebagainya. 

Sama dengan alasan di atas, seluruh kegiatan tersebut dilarang karena mengarah kepada kultus individu. (Buku Ke-NU-an Ahlussunnah Waljama'ah An-Nahdliyyah, Kelas 12 hal.60, LP Ma'arif NU DIY)

Saat itu, Ulama pesantren atau tradisional bermaksud ikut dalam delegasi ulama Islam Indonesia yang akan hadir pada muktamar di Arab Saudi guna mencari kesempatan untuk menyampaikan keberatan atas tindakan yang dianggap berlebihan dalam memurnikan Islam. 

Namun maksud tersebut terhalang karena ditolak oleh beberapa kelompok Islam yang lain dengan alasan Ulama pesantren tidak memiliki Organisasi seperti Muhammadiyah, Syarikat Islam dan sebagainya.

Ulama pesantren kemudian membentuk sebuah delegasi sendiri ke Arab Saudi tanpa terkait dengan delegasi umat Islam Indonesia yang dinamakan dengan Komite Hijaz. Ketika delegasi Komite Hijaz akan berangkat, disepakati Komite Hijaz dijadikan organisasi permanen dan diberi nama Nahdlatul Ulama yang berarti kebangkitan Ulama.

Saat ini, NU menjelma menjadi sebuah ormas "terbesar" di Indonesia. Dalam perjalanannya, NU pernah menjadi partai politik. Kemudian kembali menjadi sebuah organisasi yang fokus pada tema sosial dan keagamaan di tengah masyarakat. Sesaat setelah reformasi 1998 beberapa elite NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Wajar jika sampai saat ini dikatakan bahwa PKB adalah alat atau kendaraan politik bagi NU.

Kesuksesan terbesar NU dalam hal politik menurut hemat penulis adalah ketika KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur berhasil duduk menjadi Presiden Republik Indonesia. Namun sayang, Gus Dur menjadi orang nomor satu di Indonesia hanya sebentar. Segala konflik dan intrik politik yang terjadi saat lengsernya Gus Dur masih menjadi tanda tanya besar setidaknya bagi penulis.

Bagi sebagian pendukung Gus Dur aktor utama yang bertanggung jawab atas lengsernya beliau adalah Amien Rais yang saat itu menjadi ketua MPR. Mungkin karena hal tersebut sebagian pendukung Amien Rais dan Gus Dur tak pernah akur. Contohnya dalam hal pilpres 2014 dan 2019, ada jokes yang mengatakan siapapun calon presiden pilihan Amien Rais maka pendukung Gus Dur tidak akan memilihnya.

Amien Rais adalah tokoh Muhammadiyah dan juga tokoh Partai Amanat Nasional. Dalam hal tema NU dan Wahabi, Amien Rais dan tindakannya yang bertanggung jawab atas lengsernya Gus Dur (yang diyakini oleh sebagian orang) menemukan relevansinya. Ada alasan kedua sebagian Nahdliyin untuk tidak sepakat atau bisa dikatakan untuk terus "menolak" Wahabi.

Wahabi dan Era Reformasi 

Semenjak Presiden Soeharto jatuh dari kursi kekuasaannya angin semilir reformasi dirasakan segarnya oleh banyak kalangan. Kebebasan berpolitik, beragama, dan berekspresi benar-benar dinikmati pada saat era reformasi.

Dalam lingkup keagamaan, selain kehadiran Agama Konghuchu era reformasi juga memberi ruang yang luas bagi kehadiran beberapa gerakan Islam global yang sering disebut sebagai Gerakan Islam Transnasional seperti HTI, Salafi, Jamaah Tabligh, dan Ikhwanul Muslimin. Tak hanya itu, gerakan Islam Liberal juga muncul di permukaan. (kalau diteliti lebih lanjut Gerakan Islam Transnasional dan Liberal sudah sejak lama hadir di Indonesia. Namun terlihat lebih jelas dan marak ketika era reformasi).

Kemunculan dua kutub gerakan Islam yang berseberangan tersebut menjadi salah satu pemicu adanya Ghazwul Fikri atau perang pemikiran. Tema ini menjadi populer dan diperbincangkan oleh kalangan aktivis mahasiswa Islam di era 2000-an. Diskusi, debat, saling serang melalui artikel dan buku marak ditemui. Pemikiran Islam transnasional dan liberal tumbuh subur di lingkungan akademik atau kampus negeri dan Islam.

Seseorang yang berafiliasi dengan gerakan Islam transnasional tersebut biasanya mempunyai ciri ritual ibadah yang mirip wahabi. Selain ritual ibadah yang sama mereka juga mempunyai semangat tinggi dalam hal menjaga sunnah dan mempunyai spirit untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang dirasa saat ini mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan. Namun diantara mereka berbeda dalam hal pandangan politik dan metode dakwahnya.

Di sisi lain sebagian mahasiswa muslim dari kalangan NU cenderung dekat dengan pemikiran liberal. Ada yang mengatakan bahwa mereka sudah khatam dalam pembahasan dan pengamalan Islam di Pesantren atau madrasah NU. Oleh karena itu ketika mahasiswa mereka lebih tertarik untuk mengeksplore pemikiran lain.

Oleh karenanya, tema NU vs wahabi di kalangan mahasiswa muslim menjadi terlihat jelas karena faktor liberal vs wahabi. Bisa dikatakan wahabi adalah "common enemy" bagi kalangan NU dan liberal.

Bid'ah Vs Radikal

Selain kata wahabi yang saat ini populer seiring tumbuhnya gerakan Islam Transnasional, ada kata lain yang juga populer diperbincangkan masyarakat yaitu Bid'ah. Apa itu Bid'ah? Secara sederhana bid'ah dipahami sebagai perilaku ibadah yang tidak dipraktikkan oleh Nabi Muhammad SAW.

Pemurnian agama atau dengan istilah kembali ke Alqur'an dan Sunnah menjadi spirit bagi kalangan Islam Transnasional. Di beberapa kesempatan kajian keagamaan yang dilaksanakan oleh jamaah Islam Transnasional dengan tegas menolak bid'ah. Artinya mereka menafikan ritual ibadah yang selama ini dilakukan oleh kebanyakan muslim tradisional aka nahdliyin.

Di titik inilah para kyai dan warga nahdliyin menjadi gerah. Ustadz Wahabi -begitu mereka dipanggil oleh nahdliyin- dianggap gegabah dan gebyah uyah dalam melihat persoalan bid'ah. Dikit-dikit bid'ah, dikit-dikit bid'ah begitu katanya.

Namun perlu diketahui bahwa walaupun mempunyai spirit yang sama kembali kepada Alquran dan Sunnah tetapi pandangan politik dan metode dakwah gerakan Islam Transnasional (HTI, Salafi, Jamaah Tabligh, dan Ikhwanul Muslimin) berbeda-beda. 

Hal ini menyebabkan pemaknaan dan penyampaian spirit tersebut menjadi beda pula wujudnya. HTI mempunyai semangat khilafahnya, Salafi dikenal dengan kajian keislamannya, Jamaah Tabligh identik dengan khurujnya, dan Ikhwanul Muslimin dikenal dengan politiknya.

Di sisi lain, mereka yang terafiliasi dengan gerakan Islam Transnasional di cap oleh sebagian nahdliyin sebagai Islam Wahabi, Radikal bahkan teroris. Tentu tuduhan seperti ini membuat miris.

(bersambung)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun