Dakwah dalam Islam tidak terbatas hanya pada seruan spiritual, tetapi juga mencakup transformasi sosial dan politik. Salah satu pemikir besar Islam yang mengintegrasikan aspek dakwah dan politik dalam kerangka filsafat adalah Abu Nasr Al-Farabi (w. 950 M). Dikenal sebagai "Guru Kedua" setelah Aristoteles, Al-Farabi menjadikan filsafat sebagai sarana dakwah untuk membentuk masyarakat yang adil dan beradab.
Dalam pemikiran politiknya, dakwah bukan sekadar menyampaikan kebenaran agama secara retoris, tetapi merupakan proses rasional, sistematis, dan bertujuan membangun al-Madinah al-Fadilah (Negara Utama). Dakwah, bagi Al-Farabi, adalah upaya membentuk tata masyarakat yang selaras dengan kebenaran ilahiah melalui kepemimpinan yang bijaksana.
Konsep Dasar Politik dalam Pemikiran Al-Farabi
Dalam karya utamanya "Ara' Ahl al-Madinah al-Fadilah" (Pandangan-Pandangan Penduduk Kota Utama), Al-Farabi menggambarkan masyarakat ideal yang dipimpin oleh seorang pemimpin utama (al-ra's), yang tidak hanya menguasai ilmu agama tetapi juga ilmu filsafat, etika, dan manajemen kenegaraan.
Ia membagi masyarakat menjadi dua tipe besar:
Madinah al-Fadilah (Negara Utama)
Dipimpin oleh pemimpin yang memiliki kebajikan sempurna (mirip dengan nabi atau filsuf), negara ini bertujuan membawa warganya kepada kebahagiaan sejati (al-sa'adah).
Madinah Jahiliyah (Negara Jahiliyah)
Masyarakat yang menjauh dari nilai-nilai kebajikan dan hanya mengejar kesenangan duniawi.
Dakwah politik Al-Farabi berorientasi pada transformasi dari Madinah Jahiliyah menuju Madinah Fadilah melalui pendidikan, hukum, dan kepemimpinan profetik.
Dakwah sebagai Proyek Rasional dan Politik