Mohon tunggu...
Khanza Lolita Astya
Khanza Lolita Astya Mohon Tunggu... Relawan - Freelancer

One must imagine Sisyphus happy -Camus

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Penting! Pemanasan Global di Indonesia Ternyata Bisa dihentikan

29 Mei 2022   05:55 Diperbarui: 7 Juni 2022   10:34 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jo Pi via Flickr - Indonesia

Indonesia sebagai negara berkembang sejatinya tidak terlalu banyak menyumbang emisi gas jika dibandingkan negara-negara maju lainnya. Di sisi lain diketahui bahwa Presiden Jokowi pada pertemuan KTT Pemimpin Dunia tentang Perubahan Iklim atau COP26 di Glasglow pada tahun 2021 telah mendeklarkan Indonesia untuk berkomitmen pada FoLU Net-Sink 2030. Selain itu Presiden Jokowi juga telah menerapkan dua program yang berkaitan dengan isu pemanasan global yang telah disampaikan beberapa tahun sebelumnya yaitu rendah karbon dan ketahanan Iklim 2050 dan zero emission 2060. Akan tetapi waktu tersebut sangatlah lama apabila melihat isu pemanasan global telah membuat beberapa bencana kekeringan dan banjir di seluruh bagian bumi, termasuk Indonesia itu sendiri. Meskipun Indonesia tidak menyumbang begitu banyak emisi, Indonesia pasti akan terkena dampaknya juga.

Isu pemanasan global telah menjadi topik bahasan yang tiada hentinya hingga sekarang di seluruh dunia. Banyak yang skeptis, namun banyak pula yang optimis dengan isu ini. Terlebih isu diperkeruh dengan pendapat para ilmuwan yang sudah tidak selaras lagi dengan para politisi dan para penggerak bisnis. Di awal tahun 2022, dunia digemparkan dengan pernyataan oleh para ilmuwan bahwa manusia hanya memiliki waktu tiga tahun untuk bisa tinggal di bumi sebelum bumi tidak layak lagi dihuni manusia. Hingga puncaknya terjadi aksi demo (04/22) di kota London dan negara bagian California dimana terkenal sebagai pusat teknologi dunia.

Apakah benar hanya tersisa tiga tahun?

Menurut laporan NDAA, 2021 kenaikan temperatur di permukaan bumi pada tahun 2020 meningkat hingga 1,2 kali lipat daripada masa pra-industri yang terjadi pada kurun waktu 1880-1900. Padahal diketahui bahwa pada tahun 2019-2020 terjadi pandemi besar yang melanda hampir seluruh bagian dunia sehingga menyebabkan perlambatan proses industri. Nyatanya hal tersebut tidak menurunkan kenaikan temperatur di bumi. Diikuti dengan fakta bahwa emisi gas rumah kaca juga meningkat setiap tahunnya.

Mark Kerrison via Alamy Stock Photo - untitled
Mark Kerrison via Alamy Stock Photo - untitled

Para ilmuwan telah melakukan banyak upaya termasuk membuat beberapa program dan perjanjian dengan berbagai negera agar berkomitmen dalam permasalahan global warming. Salah satunya adalah Perjanjian Paris yang ditanda tangani pada tahun 2015 dengan salah satu pointnya yaitu menurunkan suhu bumi hingga 1,5 kali lipat dan ternyata point tersebut terasa tidak akan tercapai mengingat kenyataannya suhu bumi malah meningkat. Pernyataan ini membuat para ilmuwan sangat khawatir apalagi kenaikan suhu bumi terasa sangatlah nyata bagi mereka. Tiga tahun adalah waktu yang ditetapkan karena melihat masih banyak lapisan masyarakat yang acuh akan permasalahan ini sedangkan manusia bagai dikejar deadline oleh bumi. Jika para ilmuwan tidak memberi deadline ini, manusia akan dilanda bencana berkepanjangan.

Dampak pemanasan global yang mulai dirasakan

Dahulu di bangku sekolah diajarkan bahwa pemanasan global adalah hal nyata. Siswa akan diajarkan beberapa dampak dari isu tersebut dan bagaimana cara mencegahnya. Tetapi saat ini permasalahan ini bukan lagi nyata, dampak dari permasalahan ini sudah tidak dapat dihindari lagi. Kenaikan temperatur menyebabkan daerah-daerah yang asalnya panas akan menjadi makin panas sedangkan daerah-daerah dingin akan mengalami cuaca ekstrim seperti banjir dan badai.

Kenaikan temperatur berarti cuaca akan berubah menjadi lebih ekstrim. Menyebabkan beberapa makhluk hidup tidak dapat bertahan hidup di habitatnya. Sehingga menyebabkan bencana lainnya yaitu terutama pada negara berkembang seperti Indonesia yang akan diprediksi mengalami bencana kelaparan. Alam yang sudah tidak ideal akan berujung pada permasalahan social masyarakat pada akhirnya.

Martin Menard via Flickr - Polution
Martin Menard via Flickr - Polution

Produsen terbesar emisi gas

Pra-industri dimulai di benua Eropa, setelah itu terjadi revolusi industri sejak ditemukannya mesin uap oleh James Watt sehingga membuat perkembangan industri meningkat secara pesat. Efek dari pesatnya perindustrian ini belum banyak dipahami pada masanya. Pada tahun 1952 terjadi bencana kabut yang menutupi hampir seluruh kota London yang dikenal segabai tragedi The Great Smog of London akibat ketidakmampuan pemerintah dan korupnya para pelaku bisnis. Kabut ini menewaskan kurang lebih 12.000 jiwa di kota tersebut. Akibatnya, tragedi ini menjadi tragedi kelam dan tak terlupakan.

Dari bencana tersebut masyarakat Eropa mulai menyadari akan dampak negatif dari perindustrian. Namun masyarakat termasuk pemerintah dan pelaku bisnis masih tidak begitu peduli. Jika dibandingkan dengan negara-negara berkembang, pemakaian bahan bakar fosil yang masih menjadi salah satu alternative penggerak alat-alat perindustrian, negara-negara maju menggunakan bahan bakar fosil jauh lebih banyak.

Dapat diambil contoh seperti India dan Cina yang mana kedua negara tersebut bergantung pada sektor perindustrian dan sama-sama negara berkembang. Pemakaina bahan bakar fosil mereka pada perindustrian masih kalah jauh dengan negara-negara di Eropa dan negara Amerika Serikat.

Teknologi hijau dan penerapannya

Harus diakui bahwa pergerakan manusia dalam membuat pemecahan masalah pemanasan global ialah lamban. Perasaan takut akan bumi hancur porak-poranda membuat menusia secara tidak sadar menghindari masalah ini secara konsisten. Selain itu sebagai individu biasa, manusia juga akan merasa tidak berdaya terhadap isu ini.

Menariknya selama enam tahun kebelakang negara-negara maju telah berhasil menekan angka penggunaan bahan bakar fosil hingga nilainya lebih rendah daripada negara India dan Cina dengan angka tertinggi hingga tahun 2020 pengguna terbanyak adalah negara Cina. Negara-negara maju belakangan ini lebih menyukai energi-energi terbarukan seperti energi surya, angin, dan air. Bisnis energi terbarukan menjadi bisnis yang menjanjikan di negara-negara maju tersebut karena kesadaran masyarakat mereka akan permasalahan pemanasan global.

Dilys Thompson via Flickr - Tree!
Dilys Thompson via Flickr - Tree!

Industri hanya menyumbang emisi gas sekitar 20% sedangkan salah satu penyumbang terbesar lainnya adalah transportasi. Dilihat dari empat tahun kebelakang industri mobil listrik sudah menjadi tren di kalangan generasi milineal. Hal ini membuat harga baterai menjadi terjangkau lebih terjangkau tiap tahunnya. Masyarakat kini juga sudah mulai berganti menggunakan lampu LED yang lebih ramah lingkungan.

Sikap yang perlu diambil oleh Indonesia

Saat ini tidak hanya ilmuwan luar saja yang sedang membuat inovasi-inovasi ramah lingkungan tetapi juga ilmuwan di dalam negeri bahkan mahasiswa. Dengan penggunaan energi dan teknologi yang ramah lingkungan secara masal menjadikan harga dari produk tersebut terjangkau. Dahulu kita memiliki pikiran bahwa jika ingin semakin kaya maka harus menghasilkan emisi gas yang lebih banyak. Nyatanya saat ini industri-industri tersebut telah dikelilingi oleh banyak industri yang berubah haluan untuk lebih berkomitmen menjadi perusahaan ramah lingkungan. Tidak ada alasan lagi bagi Indonesia untuk tidak menerapkan mindset seperti ini. Pasar terbuka lebar hanya tinggal pemerintah dan pelaku bisnis untuk benar-benar berkomitmen.

Max L. via Flickr - untitled
Max L. via Flickr - untitled

Masalah negara berkembang juga berkaitan dengan bagaimana negara menerapkan teknologi-teknologi tersebut apabila sebagian besar populasi mereka masih berpenghasilan rendah. Kendatipun ternyata pernyataan tersebut malah berbalik. Dengan menerapkan teknologi-teknologi ini malah membuka banyak peluang pekerjaan bagi masyarakat. Tanpa meningkatkan emisi gas, kesejaheraan masyarakat dapat tetap meningkat.

Stigma mahalnya teknologi ramah lingkungan akan lama-lama hilang apabila diterapkan secara masal karena apabila permintaan pasar semakin banyak maka harga akan turun. Rantai pasok impor ekspor juga akan terjalin secara ramah lingkungan. Banyaknya hal positif yang didapatkan belakang ini, alangkah lebih baik apabila sebagai manusia tetap untuk berpikir positif dan berperan aktif dalam menghentikan isu pemanasan global. Meski perlu kesadaran yang tinggi, kita tidak perlu focus kepada hal-hal negatif lainnya.

Indonesia dapat menghentikan pemanasan global. Beberapa tahun kedepan kita akan melihat manufaktur, insfraktuktur, dan agrikultur yang ramah lingkungan demi keberlangsungan bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun