"Utuh?", potongnya
"Iya, utuh", kataku. Aku menunggu apa yang Ia katakan selanjutnya.
"Sudah, ya, sudah hampir sembilan belas menit.", katanya seraya beranjak melangkah pergi yang membuatku secara refleks ikut beranjak.
"Kenapa tidak dijadikan dua puluh menit saja sih?", tanyaku kesal. Dia berhenti sembari menoleh ke arahku dan berkata,
"Kakak, pergi lagi, ya. Diri ini perlu berjuang untuk jadi dewasa. Ketika tiba saatnya, Kakak akan kembali menjemput Ibu dengan kendaraan super mewah berlapis emas. Untuk sekarang, maaf, Kakak belum bisa."
"Tapi Kami hanya ingin Kakak pulang.", ucapku lirih.
"Dek, tidak ada sesuatu apapun yang bisa kita miliki secara utuh. Semua bisa pergi. Semua bisa hilang. Kita tidak diciptakan untuk memiliki semuanya. Begitu pula dengan cinta. Jangan terlalu mencinta, sekedarnya saja. Cintamu tidak akan bisa kau miliki dengan sempurna, pasti ada yang terbagi, entah dengan siapa. Nyatanya setelah terik akan ada kelabu, lalu akan turun hujan dan setelahnya pelangi, kemudian bumi akan terik kembali. Pasti ada kecewa, pasti ada sedu, tapi jangan lupa masih ada bahagia. Juga jangan lupa terus berserah, kamu tidak bisa berjalan sendiri tanpa Dia yang menciptakanmu. Terus berbagi, tanpa berharap belas kasih manusia."
Aku masih terdiam mencoba mencerna perkataannya.
"Sembilan belas menit. Tidak lebih dan tidak kurang. Itu sudah cukup. Sembilan belas menit yang tidak utuh. Sembilan belas menit yang memang tanggung. Â Jangan ditambah satu, nanti dia kehilangan maknanya. Mengharap sempurna hanya akan membuatmu luka. Mengharap dia untuk selalu ada hanya akan membuatmu sepi.", tambahnya.
Jemarinya memegang puncak kepalaku, lalu Ia pergi...
Benar, Kak. Sembilan belas menit yang tanggung itu ternyata sudah cukup meyakinkanku kalau...
perjumpaan memang akan menemui perpisahan.