Mohon tunggu...
Khanifa Fajria
Khanifa Fajria Mohon Tunggu... Lainnya - Undergraduate Student

Teman Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sembilan Belas Menit

8 Maret 2021   23:00 Diperbarui: 10 Maret 2021   15:04 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Peron satu, arah jam empat", belum sempat aku menjawabnya, sedetik kemudian suara telpon terputus.

Aku berjalan setengah berlari. Tidak aku biarkan kali ini lepas. Sudah lama aku menantikan saat-saat ini. Dua tahun, Kak, kamu hilang...

Bukkk. "maaf, Mas saya buru-buru.", berulang kali aku  minta maaf kepada mas-mas yang baru saja aku tabrak. Kerumunan di stasiun membuatku tidak leluasa untuk berlari. Jangankan berlari, bergerak pun aku susah payah. Aku kembali melanjutkan langkahku yang setengah berlari ini sebisaku.

Nafasku terengah-engah, degup jantungku tidak beraturan. Kombinasi kondisi yang disebabkan karena aku berlari tadi dan karena mataku dan matanya bertemu. Akhirnya kita bersua lagi, Kak.

Entah kenapa aku merasa hening, padahal suara riuh kerumunan mendominasi tatapan kita saat ini. Aku dan dia terpaku. Sengaja aku tidak langsung berkata dan memaki-makinya, padahal aku sangat ingin. Aku tahan. Aku ingin membaca makna tatapan dan raut wajahnya yang penuh peluh. 

Tatapan kita terpecah ketika dia menoleh ke arah lain, melangkah ke tempat duduk di pojok dekat Mushola yang agak sepi itu seolah menuntunku untuk ikut. Aku dan dia duduk. 

"Apa kabar, Dek?", Tanyanya sebagai pembuka percakapan kita sore ini.

WOw. Sama sekali tidak terdengar nada penyesalan. "baik, Alhamdulillah. Kamu bagaimana, Kak?", balasku bertanya, mencoba untuk tetap tenang. "kelihatannya saja bagaimana.", katanya setengah tertawa. Seraya melihat jam tangannya, Ia berkata, "Sembilan belas menit saja, ya". 

Hahh? apa katamu? to the point sekali, bahkan meminta maaf pun tidak. Sekarang kamu hanya memberi waktu sembilan belas menit. 

Aku menarik nafas, dan mulai bicara, "ibu mencari Kakak.", prolog yang aku pilih untuk mengawali ceramah panjangku.

"Ibu selalu tanya keadaan Kakak. Ibu selalu khawatir sejak kala itu Kakak hilang entah kemana. Kakak pasti tidak tahu kan bagaimana rasanya melalui semuanya? Ini berat, kak. Rumah tidak lagi tegak semenjak Kakak pergi dan aku tidak setangguh dulu karena salah satu tamengku hilang. Kak, kita itu satu kesatuan yang utuh, bagaima...."

"Utuh?", potongnya

"Iya, utuh", kataku. Aku menunggu apa yang Ia katakan selanjutnya.

"Sudah, ya, sudah hampir sembilan belas menit.", katanya seraya beranjak melangkah pergi yang membuatku secara refleks ikut beranjak.

"Kenapa tidak dijadikan dua puluh menit saja sih?", tanyaku kesal. Dia berhenti sembari menoleh ke arahku dan berkata,

"Kakak, pergi lagi, ya. Diri ini perlu berjuang untuk jadi dewasa. Ketika tiba saatnya, Kakak akan kembali menjemput Ibu dengan kendaraan super mewah berlapis emas. Untuk sekarang, maaf, Kakak belum bisa."

"Tapi Kami hanya ingin Kakak pulang.", ucapku lirih.

"Dek, tidak ada sesuatu apapun yang bisa kita miliki secara utuh. Semua bisa pergi. Semua bisa hilang. Kita tidak diciptakan untuk memiliki semuanya. Begitu pula dengan cinta. Jangan terlalu mencinta, sekedarnya saja. Cintamu tidak akan bisa kau miliki dengan sempurna, pasti ada yang terbagi, entah dengan siapa. Nyatanya setelah terik akan ada kelabu, lalu akan turun hujan dan setelahnya pelangi, kemudian bumi akan terik kembali. Pasti ada kecewa, pasti ada sedu, tapi jangan lupa masih ada bahagia. Juga jangan lupa terus berserah, kamu tidak bisa berjalan sendiri tanpa Dia yang menciptakanmu. Terus berbagi, tanpa berharap belas kasih manusia."

Aku masih terdiam mencoba mencerna perkataannya.

"Sembilan belas menit. Tidak lebih dan tidak kurang. Itu sudah cukup. Sembilan belas menit yang tidak utuh. Sembilan belas menit yang memang tanggung.  Jangan ditambah satu, nanti dia kehilangan maknanya. Mengharap sempurna hanya akan membuatmu luka. Mengharap dia untuk selalu ada hanya akan membuatmu sepi.", tambahnya.

Jemarinya memegang puncak kepalaku, lalu Ia pergi...

Benar, Kak. Sembilan belas menit yang tanggung itu ternyata sudah cukup meyakinkanku kalau...

perjumpaan memang akan menemui perpisahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun