Kutipan menarik dari Imam Ali bin Abi Thalib:
“Apabila kamu ingin mengetahui siapa sahabatmu yang sejati, maka lihatlah siapa yang masih berada di sampingmu saat kamu tak punya apa-apa.”
Beberapa waktu lalu, saya mengalami fase perubahan dalam hidup yang membuka mata saya terhadap satu kenyataan sosial yang pahit namun perlu diterima. Ketika saya menjabat posisi eselon di sebuah instansi, saya mendapati diri saya dikelilingi oleh banyak orang yang begitu ramah, mudah membantu, bahkan terasa begitu peduli. Namun seiring waktu, ketika saya memutuskan untuk melanjutkan studi dan tidak lagi menjabat, perlahan-lahan semua itu menghilang. Mereka yang dulu hangat, kini menjadi asing. Saya tersadar---rupanya, saya sedang dijilat.
Istilah "penjilat" mungkin terdengar kasar. Tapi dalam kenyataan sosial kita hari ini, sikap menjilat atau bersikap manis karena adanya kepentingan sudah menjadi bagian dari kultur yang nyaris dianggap biasa. Ada gula, ada semut. Dan ketika gula itu habis---dalam arti jabatan, pengaruh, atau kekuasaan menghilang---semut-semut itu pun berpindah. Kita ditinggal tanpa pamit, bahkan kadang disertai sinisme.
Pertanyaannya, mengapa fenomena ini begitu banyak terjadi? Bahkan bukan hanya di dunia kerja atau lingkungan birokrasi, tapi juga di tempat tinggal, perkumpulan sosial, bahkan di tempat pengajian yang seharusnya menjadi ruang spiritual dan ketulusan.
Budaya Relasi Transaksional
Salah satu penyebab utama adalah menguatnya budaya relasi transaksional. Di lingkungan birokrasi, loyalitas seringkali dibangun bukan atas dasar nilai dan ketulusan, melainkan pada jabatan dan kekuasaan. Selama seseorang bisa memberi keuntungan, maka ia akan didekati. Begitu tidak lagi "menguntungkan", ia ditinggalkan.
Ini bukan hanya masalah individu, tapi juga refleksi dari sistem sosial yang semakin menghargai "apa yang dimiliki" daripada "siapa dirinya." Kekuasaan, kekayaan, atau akses menjadi tolok ukur utama dalam menjalin relasi. Ketulusan menjadi barang mewah yang langka.
Krisis Ketulusan di Era Modern
Fenomena ini juga menunjukkan bahwa masyarakat kita mengalami krisis ketulusan. Banyak yang berpura-pura akrab, tapi sejatinya hanya mengejar keuntungan. Bahkan di tempat pengajian pun, terkadang relasi yang terbangun bukan karena persaudaraan spiritual, tapi karena siapa yang berpengaruh, siapa yang bisa memfasilitasi proyek, atau siapa yang punya relasi ke atas.
Di sinilah muncul paradoks: semakin tinggi jabatan seseorang, semakin sulit ia membedakan mana relasi yang tulus dan mana yang palsu.
Refleksi Diri: Antara Realita dan Harapan
Saya tidak ingin menyalahkan siapapun secara personal. Relasi sosial memang rumit dan penuh dinamika. Tapi pengalaman ini memberi saya pelajaran penting: jabatan adalah magnet sosial semu. Ia menarik banyak orang, tapi bukan karena pribadi kita, melainkan karena apa yang kita miliki untuk ditawarkan.