Lebih jauh, universitas dapat menjadikan kegiatan ini sebagai bagian dari kurikulum Sustainability Education atau program Kampus Merdeka. Mahasiswa lintas jurusan --- dari komunikasi, ekonomi, hingga teknik --- bisa terlibat dalam penelitian, promosi, dan optimalisasi sistem Plasticpay di kampus. Dengan demikian, pengelolaan sampah menjadi proyek kolaboratif lintas disiplin ilmu yang menumbuhkan nilai gotong royong ekologis.
Implementasi Plasticpay juga bisa diperkuat dengan kolaborasi eksternal, misalnya bersama pemerintah daerah, startup lingkungan, dan lembaga swadaya masyarakat. Bentuk kerja sama ini dapat mencakup pelatihan pengelolaan sampah, riset kebijakan hijau, hingga kampanye publik melalui media sosial. Kolaborasi seperti ini tidak hanya memperluas jangkauan edukasi, tetapi juga memastikan rantai daur ulang plastik berfungsi secara menyeluruh hingga tahap pemrosesan industri.
Selain manfaat ekonomi, Plasticpay juga memiliki dampak sosial yang besar. Dengan sistem penghargaan digital, mahasiswa akan merasa dihargai atas kontribusinya terhadap lingkungan. Hal ini memperkuat rasa kepemilikan (sense of belonging) terhadap kampus dan menumbuhkan budaya partisipatif. Secara psikologis, partisipasi yang disertai insentif sosial terbukti lebih berkelanjutan dibanding sekadar imbauan moral. Inilah yang membuat Plasticpay relevan untuk diterapkan di lingkungan akademik yang didominasi oleh generasi muda yang adaptif terhadap teknologi.
Relevansi Teoretis: Demokrasi Ekologis dan Perubahan Perilaku
Menurut Hermawan dan Budyatmojo (2022), demokrasi lingkungan hidup dapat dioperasionalkan melalui tiga elemen utama: akses informasi, partisipasi publik, dan keadilan ekologis. Plasticpay memenuhi ketiganya: memberikan akses informasi kepada mahasiswa tentang volume dan dampak sampah plastik yang mereka hasilkan; mendorong partisipasi aktif melalui sistem gamifikasi dan insentif digital; serta mewujudkan keadilan ekologis, karena setiap individu memiliki kesempatan berkontribusi terhadap kebersihan lingkungan.
Dengan demikian, penerapan Plasticpay di kampus bukan sekadar solusi teknis, tetapi juga wujud nyata dari praktik demokrasi ekologis. Mahasiswa tidak hanya belajar teori tentang keberlanjutan, tetapi juga mengalami langsung bagaimana tindakan kecil mereka bisa berdampak bagi bumi.
Penutup
Krisis sampah plastik di Indonesia menuntut perubahan paradigma dari semua lapisan masyarakat, termasuk di dunia pendidikan. Kampus bukan hanya ruang akademik, tetapi juga laboratorium sosial tempat perilaku dan kesadaran baru bisa ditumbuhkan. Melalui penerapan konsep komunikasi lingkungan, partisipasi demokrasi ekologis, dan inovasi digital seperti Plasticpay, mahasiswa dapat menjadi pelopor gerakan hijau yang nyata dan berkelanjutan.
Sebagai mahasiswa UPN Veteran Jakarta, saya meyakini bahwa perubahan tidak harus menunggu kebijakan besar. Perubahan bisa dimulai dari tindakan sederhana --- memilah sampah, menggunakan produk berkelanjutan, dan berpartisipasi aktif dalam gerakan seperti Plasticpay. Dari satu tindakan kecil yang konsisten, dampak besar bisa tercipta, tidak hanya untuk kampus tetapi juga untuk masyarakat luas.
Jika dunia akademik berhasil menanamkan budaya ekologis ke dalam sistem pendidikannya, maka kampus akan menjadi ruang pembelajaran yang bukan hanya mencetak intelektual, tetapi juga agen perubahan yang menjaga keseimbangan bumi. Dengan langkah-langkah kecil yang dilakukan bersama, cita-cita menuju kampus hijau berkelanjutan bukanlah utopia, melainkan masa depan yang bisa diwujudkan.
Daftar PustakaÂ