Bandung, 27 Mei 2025 — Dunia seni rupa di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) kembali menunjukkan geliatnya lewat pameran bertajuk “Masang Gambar”. Acara ini menampilkan beragam karya gambar dan ilustrasi dari mahasiswa program studi Seni Rupa, yang tidak hanya menunjukkan keterampilan teknis dalam menggambar, tetapi juga memancarkan kedalaman ide dan refleksi sosial yang mengundang pemikiran.
Pameran ini menjadi wadah ekspresi artistik sekaligus ruang kontemplasi, di mana setiap karya menggambarkan lebih dari sekadar keindahan visual. Mengacu pada pandangan Salam dan Muhaemin (2020) dalam buku Pengetahuan Dasar Seni Rupa, seni rupa adalah bentuk ungkapan perasaan manusia yang divisualisasikan dalam dua atau tiga dimensi, menggunakan unsur-unsur seperti garis, bidang, warna, dan tekstur yang disusun secara harmonis. Dalam konteks ini, seni rupa tidak hanya menyenangkan secara estetis, tetapi juga menjadi jendela pemikiran, pengalaman, dan kegelisahan penciptanya.
Hal tersebut tercermin kuat dalam karya-karya yang dipamerkan di “Masang Gambar”. Setiap gambar menyimpan lapisan makna dari refleksi personal, kritik sosial, hingga keresahan terhadap isu lingkungan dan budaya populer. Meski disampaikan dalam bentuk visual yang beragam, seluruh karya berbicara dalam bahasa yang universal: emosi dan gagasan.
Secara harfiah, istilah “Masang Gambar” berarti “memasang gambar”, sebuah tradisi lama dalam dunia seni untuk menampilkan karya di ruang publik. Namun dalam pameran ini, maknanya diperluas menjadi ruang interaksi antara seniman, karya, dan penonton. Mengutip pemikiran Conlin, J. (2020) dalam pembahasan tentang karya John Berger (1972) dalam Ways of Seeing, karya seni tidak pernah hadir sebagai entitas tunggal, ia selalu membentuk dialog, membuka ruang interpretasi, dan menantang pemahaman konvensional tentang cara melihat. Dalam konteks pameran “Masang Gambar”, pengunjung diajak untuk tidak sekadar mengagumi garis-garis spontan dan bentuk sederhana, tetapi juga menyelami narasi yang tersembunyi di balik setiap sapuan sketsa, menafsirkan ulang gambar sebagai media ekspresi yang jujur, pengungkapan diri, bahkan sebagai isyarat perlawanan simbolik yang halus namun bermakna.
Kekuatan pameran ini tidak hanya terletak pada visual karya yang ditampilkan, tetapi juga pada proses kreatif yang melatarbelakanginya. Setiap karya yang hadir merupakan hasil dari perjalanan artistik yang mendalam, dibentuk melalui serangkaian kegiatan coaching clinic yang diadakan secara intensif bersama Rudi ST Dharma, seorang seniman sekaligus alumni Program Studi Seni Rupa. Dalam sesi-sesi pendampingan tersebut, para peserta tidak hanya belajar aspek teknis dalam berkarya, tetapi juga diajak untuk lebih peka terhadap gagasan, simbol, dan narasi yang ingin mereka sampaikan melalui medium visual. Proses ini menjadi ruang tumbuh yang sangat penting, di mana peserta dapat mengevaluasi, merefleksikan, dan menyempurnakan ide-ide mereka dalam suasana yang suportif namun tetap menantang. Hasilnya adalah karya-karya yang tidak hanya menarik secara estetika, tetapi juga memiliki kedalaman makna dan kekuatan ekspresi yang mencerminkan proses pembelajaran yang mereka lalui
Cahaya di Tengah Gelap: Potret Keteguhan Mahasiswa dalam Karya Suci Fuzty Rabbani
Salah satu karya yang paling mencuri perhatian dalam pameran Masang Gambar adalah karya milik Suci Fuzty Rabbani. Dalam karyanya, Suci menyoroti pergulatan hidup sebagai mahasiswa dari latar ekonomi menengah ke bawah melalui pendekatan visual yang jujur dan intim. Baginya, karya bukan sekadar representasi visual, melainkan medium untuk menyampaikan pengalaman hidup yang kerap terpinggirkan dan tak terdengar. Seperti yang dijelaskan oleh Robb (2021), gambar dapat menjadi sarana untuk menyuarakan identitas yang selama ini tak memiliki platform, terutama di kalangan mahasiswa dan pelajar dari latar ekonomi yang kurang mendukung .
Inspirasi awal muncul dari diskusi dengan Bapak Agus Zimo, seorang seniman yang banyak mengangkat realitas hidup petani dalam karyanya. Percakapan tersebut membuka pandangan Suci bahwa sudut pandang personal terhadap sejarah dan kondisi sosial dapat menjadi pijakan penting dalam proses berkarya. Bapak Agus Zimo, melalui narasi-narasi visualnya, menunjukkan bahwa masa lalu yang kelam bisa dimaknai berbeda oleh tiap individu, dan dari sanalah keberanian untuk bersuara dapat tumbuh.
Berangkat dari kesadaran itu, Suci mulai merefleksikan identitasnya sendiri sebagai mahasiswa yang harus berjuang keras untuk bertahan dalam dunia akademik. Ia menyebut tahun 2025 sebagai masa di mana menjadi mahasiswa merupakan sebuah kemewahan. “Menyandang nama mahasiswa itu sendiri sudah sulit dipertahankan,” tuturnya. Ia menggambarkan dirinya berada dalam posisi yang serba salah: terlalu “kaya” untuk layak menerima bantuan, namun terlalu “miskin” untuk hidup dengan tenang. Ketegangan itulah yang menjadi benang merah dalam karya yang ia hadirkan.