Self-care memang dapat membantu individu bertahan, tapi ia bukan jawaban struktural atas budaya burnout. Perawatan diri bersifat temporer dan individual, sementara kelelahan yang kita alami berasal dari sistem kolektif yang berulang. Bahkan, dalam banyak kasus, self-care menjadi beban baru. Kita merasa bersalah jika tidak melakukan journaling, meditasi, atau olahraga harian. Di media sosial, self-care menjadi performa yang harus diunggah dan divalidasi.
Masalah lainnya, pendekatan individual ini menyederhanakan masalah sistemik menjadi persoalan personal. Ketika seseorang burnout, solusinya bukan sekadar berlibur atau membeli lilin aromaterapi, tapi memperbaiki jam kerja, beban kerja, jaminan sosial, dan hak atas istirahat. Sayangnya, self-care dalam bentuk pasar hanya menambal luka dan bukan menyembuhkannya.
Menuju Solusi Kolektif: Dari Self-Care ke Community-Care dan Reformasi Struktural
Jika kita ingin keluar dari lingkaran burnout, kita perlu memikirkan ulang konsep perawatan. Istirahat harus dipandang bukan sebagai hadiah atau gaya hidup, melainkan sebagai hak kolektif. Untuk itu, solusi yang dibutuhkan harus bersifat sistemik bukan hanya individual.
Beberapa langkah penting yang perlu diperjuangkan bersama:
Mereformasi dunia kerja: Mendorong jam kerja yang manusiawi, upah layak, dan kebijakan cuti yang adil. Burnout tidak akan hilang jika kita masih bekerja 60 jam per minggu tanpa jaminan kesehatan mental.
Menegaskan peran negara dan kebijakan publik: Perawatan kesehatan mental tidak boleh menjadi barang mewah. Negara harus menyediakan akses layanan psikologis dan kesejahteraan emosional sebagai bagian dari sistem kesehatan nasional.
Membangun community-care: Dukungan sosial dari komunitas jauh lebih berkelanjutan daripada solusi yang dijual pasar. Ruang-ruang kolektif yang mendukung istirahat, koneksi sosial, dan solidaritas perlu diperkuat.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!