Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self-care semakin populer. Di media sosial, netizen dibanjiri dengan gambar lilin aromaterapi, spa, journaling, aplikasi meditasi, dan produk-produk yang menjanjikan penyembuhan diri atau "healing". Self-care dipromosikan sebagai solusi atas kelelahan mental dan emosional yang kini sangat lazim terjadi, terutama di kalangan pekerja muda, perempuan, dan profesional urban.
Namun, di balik wacana self-care yang tampak menenangkan, muncul pertanyaan penting: mengapa kita semua merasa begitu lelah? Mengapa kelelahan ini bersifat kolektif dan terus-menerus? Jawaban atas pertanyaan ini tak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari: kapitalisme. Artikel ini akan menyoroti bagaimana budaya burnout merupakan produk sistemik dari kapitalisme modern, serta mengapa self-care yang bersifat personal dan komodifikatif tidak cukup untuk mengatasinya.
Budaya Burnout: Gejala Sistemik Kapitalisme
Burnout bukan sekadar kelelahan biasa. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah mengklasifikasikannya sebagai sindrom akibat stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil ditangani. Gejalanya mencakup kelelahan fisik dan emosional, sinisme terhadap pekerjaan, serta penurunan performa profesional.
Fenomena ini semakin memburuk di era kapitalisme digital. Budaya hustle atau bekerja keras tanpa henti telah mengaburkan batas antara kerja dan kehidupan pribadi. Teknologi memperparah situasi ini: email kantor dapat masuk kapan saja, aplikasi kerja bisa mengingatkan kita di tengah malam, dan pekerja gig hidup tanpa jadwal kerja yang tetap. Dalam sistem ini, produktivitas dianggap sebagai nilai tertinggi, dan istirahat hanya dilihat sebagai alat untuk mengembalikan tenaga, bukan hak yang melekat pada manusia.
Oleh karena itu, burnout bukanlah kegagalan personal. Ia merupakan gejala dari sistem yang menghargai output lebih dari kesehatan, waktu luang, atau keseimbangan hidup. Kapitalisme membutuhkan manusia yang terus bekerja tanpa menyediakan ruang aman bagi kelelahan.
Self-Care dan Komodifikasi Perlawanan
Self-care awalnya muncul sebagai bentuk perlawanan, terutama di kalangan komunitas marjinal seperti perempuan, kulit berwarna, dan aktivis yang menghadapi tekanan sistemik. Audre Lorde, seorang feminis kulit hitam, pernah mengatakan bahwa merawat diri sendiri adalah tindakan politis dan bukan bentuk memanjakan diri. Self-care adalah bentuk bertahan hidup dan pembangkangan.
Namun, seiring waktu, kapitalisme menyerap dan menjual segala bentuk ekspresi manusia. Kapitalisme pun berhasil mengubah self-care menjadi sebuah industri. Kini, self-care bukan lagi bentuk perlawanan, melainkan bagian dari pasar bernilai miliaran dolar. Industri wellness menawarkan solusi instan untuk burnout melalui skincare mahal, langganan aplikasi meditasi, hingga yoga retreat eksklusif. Semua dijual sebagai cara untuk "memulihkan" diri agar bisa kembali produktif.
Paradoksnya: kita membeli self-care dari sistem yang membuat kita lelah sejak awal.
Mengapa Self-Care Tidak Cukup