Paradigma yang mucul pada saat ini masih identik dengan paradigma tradisional dalam mendeskripsikan makna pembangunan, dalam arti upaya peningkatan pendapatan per kapita sebagai strategi pertumbuhan ekonomi.Â
Dalam pemikiran di atas, harus diketahui bahwa indikator keberhasilan pembangunan, apabila menitikberatkan pada pertumbuhan GNP per kapita riil, GNP konstan harus lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan penduduk. Kecenderungan di atas dapat dilihat pada pemikiran-pemikiran awal mengenai pembangunan, seperti W.W. Rostow, A. Lewis, Harrod-Domar, dan lainnya.
Dampak terburuk dari sebuah proses dari kegiatan perekonomian bazaar dengan sektor informal, secara tidak langsung akan menimbulkan masalah struktural yang mengakibatkan angka kemiskinan semakin bertambah, seperti penyerapan tenaga kerja yang buruk berdampak pada pengangguran dan peraturan pemerintah yang membebani perekonomian bazaar dan sektor informal.Â
Hal ini merupakan salah satu dari proses pembangunan yang kurang efektif karena membendung hal-hal yang sensitif. Kemiskinan dapat dilihat sebagai keadaan masyarakat dengan tingkat ekonomi yang masih lemah, dan ditambah dengan kebijakan pemerintah yang umumnya diarahkan untuk memecahkan permasalahan jangka pendek, sehingga kebijakan tersebut belum berhasil memecahkan kelompok ekonomi rakyat bawah.
Meskipun cakupan yang berskala kecil, sektor informal termasuk di dalamnya perekonomian bazaar memiliki keunggulan, yaitu tahan terhadap resesi dan dapat menjadi kekuatan ekonomi nasional (Puslit Kemsos).
Dengan demikian kemiskinan merupakan kondisi masyarakat yang tidak atau belum ikut serta dalam proses perubahan karena tidak memiliki kemampuan, baik kemampuan dalam pemilihan faktor produksi maupun kualitas faktor produksi yang memadai, sehingga tidak mendapatkan manfaat dari hasil proses pembangunan. Subandi menjelaskan (2011: 78), bahwa kemiskinan pada dasarnya disebabkan karena sifat alamiah atau kultural, yaitu masalah yang muncul di masyarakat berkaitan dengan pemilihan faktor produksi, produktivitas dan tingkat perkembangan masyarakat itu sendiri.
Peran perekonomian bazaar yang cenderung menduduki sektor informal dalam suatu proses pembangunan nasional menjadi hal yang harus diperhatikan. Karena gambaran tentang sektor informal  ini kurang memadai, definisi yang kurang baik itu sangat sering dilengkapi dengan suatu daftar kegiatan agak arbiter yang terlihat apabila seorang menyusuri jalan-jalan suatu kota di dunia ketiga: pedagang kaki lima, penjual koran, anak-anak penyemir sepatu, penjaga kios, pelacur, porter, pengemis, penjaga barang, pengemudi becak dan seterusnya.Â
Dengan kata lain, mereka adalah kumpulan pedagang kecil, pekerja yang tidak terikat dan tidak terampil serta golongan-golongan lain dengan pendapatan rendah dan tidak tetap, hidup mereka serba susah dan semi kriminal pada batas-batas perekonomian kota. Pada hakikatnya proses terbentuknya perekonomian bazaar  merupakan suatu bentuk pola tradisional yang masih ada sampai saat ini. Selain itu sektor informal menjadi momok bagi proses pembangunan.Â
Pembangunan nasional dewasa ini lebih di fokuskan pada sektor formal yang memiliki karakteristik lebih kuat dari pada sektor informal. Maka dewasa ini pembangunan masih dapat di kategorikan sebagai proses pembentukan modal (Kuncoro: 2010: 4), karena menjadi strategi paling cepat dalam proses pembangunan.Â
Karena akan mengikuti pola pembangunan dewasa ini, seperti yang dijelaskan dalam teori pola pembangunan Hollis Chenery (Subandi, 2011: 55), bahwa ada transformasi dari sektor pertanian menjadi sektor industri. Industri memang di pilih untuk dapat menggenjot GNP per kapita. Tetapi di sisi lain terdapat dampak negatif yang lebih besar akibat perubahan pola pembangunan tersebut.
Indeks pembangunan manusia (Human Development Index) Indonesia dari tahun 2010 -- 2014 mengalami kenaikan yang tidak terlalu signifikan dan fluktuasinya tidak terlalu besar. Dari data yang ada  (Republika), pada 2013 Indonesia termasuk ke dalam peringkat 108 di dunia dari 187 negara.Â