Di tengah gencarnya upaya reformasi birokrasi untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, konflik kepentingan masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas. Masalah ini kerap hadir secara tersembunyi ketika kepentingan pribadi menyusup dalam kebijakan publik. Menyusup dalam relasi jabatan, pengambilan keputusan, hingga pengelolaan sumber daya. Ketika kepentingan keluarga bercampur dalam proses birokrasi, integritas sistem pun terancam.
Sayangnya, pengelolaan konflik kepentingan belum sepenuhnya dipahami sebagai isu strategis yang berdampak langsung pada kepercayaan masyarakat. Seperti pada kasus baru-baru ini tentang konflik kepentingan meledak ke publik, dimana istri pejabat diketahui berhasil lolos seleksi PPPK formasi tahun 2025 pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara. Namun masalahnya dibeberapa sumber kredibel menegaskan bahwa namanya tidak pernah terdaftar sebagai tenaga honorer di instansi manapun, sebuah jalur yang selama ini menjadi prioritas dalam banyak rekrutmen PPPK.
Hal ini menjadi sebuah kontroversial dan kecurigaan Masyarakat semakin tajam melihat posisi strategis suaminya, yang menjabat sebagai kepala Bidang Pengadaan Pegawai di BKD Maluku Utara. Jabatan tersebut memberi peluang akses langsung dan kewenangan terhadap mekanisme verifikasi dan pengusulan formasi PPK. Situasi tersebut menciptakan persepsi kuat Masyarakat adanya “titipan” yang melangkahi prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses seleksi. Maka, tantangan terbesar bukan hanya merancang aturan, tetapi menumbuhkan budaya sadar etika di setiap lini birokrasi.
Tahun 2024 Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan reformasi Birokrasi menerbitkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 17 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Konflik Kepentingan. Salah satu agenda yang difokuskan dalam reformasi birokrasi yaitu untuk mewujudkan tata Kelola pemerintahan yang bersih serta meningkatkan kualitas pelayanan public dengan mengelola kepentingan.
Dengan mengelola konflik kepentingan, keputusan yang diambil lebih transparan dan akuntabel sehingga akan berdampak pada kualitas pelayanan publik dan kinerja organisasi yang juga mendukung salah satu asta cita dari Presiden Prabowo yaitu memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba. Dalam konteks reformasi birokrasi, membiarkan konflik kepentingan tanpa mekanisme pengelolaan yang jelas sama saja dengan membuka ruang bagi mereka yang bernafsu buruk untuk mendapatkan celah jalan demi kepentingannya dan keuntungan pribadi maupun keluarga.
Konflik kepentingan terjadi ketika seseorang memegang amanah jabatan publik menghadapi situasi di mana kepentingan pribadi, keluarga, atau afiliasi tertentu berpotensi memengaruhi objektivitas dalam menjalankan tugasnya. Konflik kepentingan dapat terjadi Ketika pejabat, dalam melaksanakan kewenangannya dihadapkan dengan hal yang memiliki hubungan keluarga. Dalam hal ini keluarga merupakan pihak yang secara langsung memiliki kebutuhan dengan kewenangan pejabat pemerintahan tersebut.
Masyarakat akan kehilangan kepercayaan jika merasa Keputusan pemerintah tidak adil atau penuh “titipan”. Seperti halnya yang terjadi pada Sri Wahyuni istri dari pejabat kepala Bidang Pengadaan Pegawai di BKD Maluku Utara diketahui berhasil lolos seleksi PPPK formasi tahun 2025 pada Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara. Namun dibeberapa sumber kredibel menegaskan bahwa namanya tidak pernah terdaftar sebagai tenaga honorer di instansi manapun, sebuah jalur yang selama ini menjadi prioritas dalam banyak rekrutmen PPPK.
Hal ini menjadi sebuah kontroversial dan kecurigaan Masyarakat semakin tajam melihat posisi strategis suaminya, yang menjabat sebagai kepala Bidang Pengadaan Pegawai di BKD Maluku Utara. Jabatan tersebut memberi peluang akses langsung dan kewenangan terhadap mekanisme verifikasi dan pengusulan formasi PPK. Pengelolaan konflik kepentingan saat ini menjadi aspek yang sangat krusial untuk diperhatikan,
Konflik kepentingan melemahkan Upaya pemerintah dalam membangun birokrasi yang bersih, transparan, dan akuntabel. Hal ini bertolak belakang tentunya dengan semangat system merit yang lebih mengutamakan kompetensi, bukan koneksi. Akibatnya banyak ASN atau CASN yang kompeten dan akhirnya tersingkir oleh mereka yang memiliki kedekatan relasi atau hubungan pribadi dengan atasan atau pejabat yang berwenang.
Jika konflik kepentingan dibiarkan dan diwajarkan, budaya organisasi akan memburuk. Hal ini juga bisa menyebabkan pembenaran terhadap praktik-praktik tidak etis lain oleh ASN yang terlibat atau merasa dirugikan. Pejabat dengan kekuasaannya dapat menyalahgunakan wewenangnya untuk memperkaya diri atau kelompoknya. Oleh karena itu pengelolaan konflik kepentingan haruslah menjadi perhatian penting untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.
Pelaksanaan pengelolaan konflik kepentingan terdiri dari: pencatatan daftar kepentingan pribadi, deklarasi konflik kepentingan, pengendalian konflik kepentingan sebagai tindak lanjut deklarasi konflik kepentingan, pengendalian konflik kepentingan melalui masa tunggu mantan pejabat pemerintahan, pelatihan dan konsultasi pengelolaan konflik kepentingan.