Mohon tunggu...
Khairunnisa Musari
Khairunnisa Musari Mohon Tunggu... lainnya -

"Satu peluru hanya bisa menembus satu kepala, tapi satu telunjuk (tulisan) mampu menembus jutaan kepala" - Sayyid Quthb. Untuk artikel 'serius', sila mampir ke khairunnisamusari.blogspot.com dan/atau http://www.scribd.com/Khairunnisa%20Musari...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seri 2 Ibnu Katsir Jember: Cucu dari Guru Buya Hamka itu Mewakafkan Gedung Rp 2M untuk Ma’had Kami

1 September 2013   01:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:32 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_284707" align="alignright" width="360" caption="Backdrop Acara"][/caption]

“Mbak, Ustadz Khoirul menghubungi saya dan minta agar Mbak Iis berkenan hadir. Saya berdoa agar Allah memudahkan Mbak Iis untuk hadir,” pesan Mas Hari via mobile phone pada saya beberapa waktu lalu. Mmm, jika Mas Hari sudah mengeluarkan kata-kata mujarabnya ‘Saya berdoa agar Allah....’, itu artinya dia benar-benar serius.

“Tadi saya bertemu Ustadz Khoirul Hadi. Bilangnya, Iis dimohon sekali untuk bisa hadir. Mungkin nanti bisa diatur waktunya supaya Iis bisa datang,” kata Abi pula ketika kami bertemu.

Alhamdulillah, setelah berkompromi dengan Abi kemarin, akhirnya saya bisa menghadiri Halal Bihalal dan Serah Terima Wakaf Gedung Qur’an ‘Aliah’ hari ini. Meski datang terlambat sekitar setengah jam, saya bersyukur bisa mengikuti rangkaian acara hingga akhir. Hal ini tidak lepas pula dari janji saya pada Mas Hari untuk menuliskan kegiatan ini di Kompasiana.

Ketika saya datang, aula utama dari rumah besar megah (nyaris seperti gedung) itu sudah penuh dengan orang. Sadar diri terlambat, saya langsung mencari tempat duduk kosong tanpa berani melirik ke sana ke mari. Duduk sejenak, tiba-tiba sebuah pesan pendek masuk ke mobile phone. “Itu tempatnya ikhwan, nggeser ke kiri...". Aaaaah, Bu Yayuk, Psikolog yang menangani N2 ternyata mengetahui kehadiran saya di Gedung Aliah.

[caption id="attachment_284709" align="alignright" width="300" caption="Bagian tempat duduk para akhwat."]

13779719431263688390
13779719431263688390
[/caption]

Usai membalas pesan Bu Yayuk, seorang wanita mungil dan manis di sebelah saya menyapa. Berbincang sebentar, ia kemudian berkata, “Mbak ini Mbak Nisa ya. Mbak kan teman suami saya di Fesbuk...”, tuturnya sembari menyebut nama suaminya. Aaaaah, ini toh istri tersayangnya Mas Ahmad Nur Hasan yang sering kali memberi ‘like’ pada status atau komen saya.

Huffffhhh, sejumlah warga Jember yang selama ini hanya berkenalan dengan saya via Fesbuk, ternyata banyak saya temui di acara halal bihalal ini. Ada yang menyapa ‘Mbak Iis’, ‘Bu Nisa’, ‘Bu Iis’.... Aaaaah, rasanya saya seperti bukan pertama kali saja bertemu mereka.

-----------------------

[caption id="attachment_284710" align="alignright" width="300" caption="Papan petunjuk arah Gedung Qur"]

1377971981300797766
1377971981300797766
[/caption] Hari ini memang hari istimewa bagi keluarga besar Ma’had Tahfizh Qur’an Ibnu Katsir dan keluarga pasangan dr. Suharman Rasjid, Sp. A dan Aliah Mahyudi Surahman SH, MH beserta 2 putri mereka. Ya, hari ini secara resmi telah dilakukan penyerahan sertifikat wakaf  kepada dr. Suharman dan Ibu Aliah yang telah menyerahkan rumah besar dan megah tersebut sebagai wakaf kepada Ma’had Ibnu Katsir. Menurut rencana, rumah yang diberi nama Gedung Qur’an ‘Aliah’ ini akan menjadi kampus bagi mahasantriwati tahun depan. Ya, insya Allah, biidznillah, tahun depan Ma’had Ibnu Katsir akan membuka angkatan I bagi mahasantriwati. Melalui wakaf dr. Suharman dan Ibu Aliah, Ibnu Katsir diberikanNya jalan untuk membuka kampus yang akan mencetak para akhwat untuk menjadi pendidik penghafal Al-Qur’an.

Menyimak rangkaian acara yang diramaikan pula oleh Djember Nasyid Acapella (DNA) dan tausiyah Ustadz Abu Hasan al Hafizh yang menjadi Mudir dari Ibnu Katsir, ada cerita menarik yang sempat membuat saya ingin mengetahui keberadaan sosok Ibu Aliah lebih jauh. Ya, sempat disampaikan dalam acara tersebut bahwa Ibu Aliah adalah cucu dari Buya Hamka. Oh ya???

-------------------------

[caption id="attachment_284713" align="alignright" width="300" caption="Saya ketika mewawancarai Ibu Aliah."]

13779722361748841388
13779722361748841388
[/caption]

Melalui Ustadz Syukri Nur Salim yang menjadi Kabid Akademik Ibnu Katsir, saya dibantu untuk berbincang-bincang dengan Ibu Aliah. Suami tercinta Ibu Aliah yang dipanggilnya dengan sebutan Papi, dr. Suharman, ikut menemani. Tak banyak kalimat yang terlontar dari dr.Suharman selain senyum sabarnya melihat sang istri bertutur.

“Kakek saya selain beristrikan kakak kandung dari Buya Hamka, kakek saya juga adalah guru bagi Buya Hamka,” cerita Bu Aliah.

Aaaaaah, jadi Ibu Aliah ini ternyata adalah cucu kandung dari Ahmad Rasyid Sutan Mansur atau lebih dikenal sebagai AR Sutan Mansur. AR Sutan Mansur menikah dengan Fatimah binti Abdul Karim Amrullah yang merupakan kakak kandung dari Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah atau yang dikenal dengan Buya Hamka. Dan menariknya, AR Sutan Mansur selain menjadi kakak ipar dari Buya Hamka, beliau juga adalah murid dari ayah Buya Hamka dan merupakan guru bagi Buya Hamka.

Menuntaskan rasa penasaran, saya mencoba menjelajahi dunia maya untuk menemukan siapa AR Sutan Mansur yang menjadi murid dari ayah seorang Buya Hamka sekaligus menjadi guru bagi Buya Hamka ini.

Ternyata AR Sutan Mansur adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang lahir di Maninjau, Sumatera Barat, 15 Desember 1895. Sejak awal, AR Sutan Mansur sudah berkeinginan bersekolah di Mesir. Ia sangat tertarik belajar agama. Atas saran gurunya, Tuan Ismail (Dr. Abu Hanifah), Sutan Mansur belajar kepada Haji Rasul atau Dr. Abdul Karim Amrullah, seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau, yang merupakan ayah Buya Hamka.

Ketika usia Buya Hamka 10 tahun, ayahnya telah mendirikan sekolah Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di sanalah Buya Hamka belajar agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga memperoleh pengajaran dari AR Sutan Mansur yang saat itu juga sedang menimba ilmu dari ayah Buya Hamka.

[caption id="attachment_284714" align="alignright" width="180" caption="Ibu Aliah Mahyudi Suharman"]

1377972272678209576
1377972272678209576
[/caption]

Pada tahun 1917, Sutan Mansur diambil menantu oleh Dr. Abdul Karim Amrullah dan dinikahkan dengan putri sulungnya, Fatimah, kakak Buya Hamka. Dari pernikahan inilah ia memperoleh gelar Sutan Mansur yang melengkapi nama aslinya Ahmad Rasyid. Setahun kemudian, Sutan Mansur dikirim ke Kuala Simpang, Aceh, untuk mengajar. Setelah dua tahun,  ia kembali ke Maninjau.

Pergolakan di Mesir melawan Inggris memupus keinginan Sutan Mansur untuk melanjutkan studi di Mesir. Ia tidak diizinkan pemerintah kolonial Belanda untuk berangkat. Sutan Mansur kemudian berangkat ke Pekalongan untuk berdagang dan menjadi guru agama bagi para perantau dari Sumatera dan kaum muslim lainnya. Singkat cerita, perjalanan hidup AR Sutan Mansur ke Pulau Jawa membuatnya berkenalan dengan KH Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah. Ketertarikannya pada Muhammadiyah disebabkan karena ide yang dikembangkan Muhammadiyah sama dengan ide gerakan pembaharuan yang dikembangkan di Sumatera Barat sebagai gerakan sosial kemasyarakatan yang berbasis pada Islam yang murni. Sepulangnya Sutan Mansur ke Sumatra Barat, Dr. Abdul Karim Amrullah membuka jalan bagi Sutan Mansur untuk lebih mengembangkan Muhammadiyah di Sumatera Barat. Penyebaran gerakan ini semakin pesat setelah Sutan Mansur mendapat dukungan dari tokoh-tokoh masyarakat setempat dan sejumlah alim ulama dari kaum muda.

Membaca kisahnya, AR Sutan Mansur bukan saja menjadi tokoh besar Muhammadiyah, tapi beliau juga adalah pejuang kemerdekaan. Sikap anti penjajah telah dimilikinya semenjak masih belia. Baginya, penjajahan tidak saja sangat bertentangan dengan fitrah manusia. Baginya, penjajahan juga menjadi penghalang gerak syiar agama Islam. AR Sutan Mansur wafat hari Senin, 25 Maret 1985, di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun.

------------------------

Berkat kisah Ibu Aliah, saya menjadi belajar sedikit tentang sejarah Muhammadiyah, Buya Hamka, dan AR Sutan Mansur. Melihat sejarah keluarga mereka yang mencintai ilmu agama, ilmu pengetahuan, dan juga mengaplikasikannya pada sosial kemasyarakatan, mungkin tidak perlu kaget melihat kebesaran jiwa Ibu Aliah dan suaminya yang sejak awal mendirikan rumah besar dan megah itu memang diniatkan untuk kegiatan pendidikan dan keagamaan. Jauh sebelum rumah itu diwakafkan ke Ibnu Katsir, rumah besar dan megah senilai Rp 2 miliar tersebut sudah berulang kali menjadi tempat pengajian dan majelis taklim, bahkan sempat digunakan menjadi sebuah sekolah kejuruan.

[caption id="attachment_284712" align="alignright" width="300" caption="Penyerahan Sertifikat Wakaf disaksikan Mitra Ibnu Katsir: RS Bina Sehat, Univ Islam Jember, dan Indosat"]

1377972173793175073
1377972173793175073
[/caption]

Allah lah yang menggerakkan hati pasangan sakinah mawaddah warahmah itu sehingga mewakafkan rumah tersebut pada Ibnu Katsir, yang pada saat yang sama tengah memiliki keinginan untuk bisa membuka Ma’had bagi mahasantri putri.

“Saya berharap cucu saya yang saat ini berusia 3 tahun, kelak dapat menjadi penghafal Al Qur’an pula,” kata Bu Aliah.

Subhanallah walhamdulillaah...

Berkat menghadiri Halal Bihalal dan Serah Terima Wakaf Gedung Qur’an ‘Aliah’, N2 yang berusia 8 tahun pada 3 September mendatang yang saya ajak menemani, menjadi turut pula mendengarkan tausiyah Ustad Abu Hasan al Hafizh tentang keutamaan mencintai dan memuliakan Al-Qur'an. Pertanyaan indah terlontar darinya

“Bunda, Mbak belum hafal sampai 30 juz. Apa Mbak sudah boleh dibilang sudah jadi hafizhah? Apa harus hafal 30 juz baru boleh disebut hafizhah?”

“Bunda, Mbak masih baru punya hafalan sedikit, apa Mbak sudah termasuk keluarga Allah? Allah mau enggak ya terima kita sebagai keluargaNya? Mbak kan rajin membaca Al Qur’an, di sekolah, di TPA, di Islamic Center, di liqo', di rumah... Semoga Allah mau jadikan Mbak jadi keluargaNya ya, Nda.”

“Bunda, kalau Mbak menjadi hafizhah, mahkota dari Allah yang Mbak kasih untuk Bunda itu terbuat dari apa ya?”

“Bunda, kalau Mbak jadi hafizhah, apa Bunda dan semua keluarga kita akan berkumpul di surga yang sama? Semoga kita nanti berkumpul ya, Nda. Semoga surganya sama, jangan sampai surganya terpisah-pisah...”.

Lumajang. Dini hari. Meresapi malam. Mencoba kembali padaNya.

Sumber:

http://suar.okezone.com/read/2008/04/25/58/103793/mengenang-buya-sutan-mansur#sthash.fZ8LcQ1x.dpuf

http://dikdasmenpwmdiy.or.id/biografi-tokoh/271-buya-ar-sutan-mansyur-

http://www.muhammadiyah.or.id/content-161-det-buya-haji-ahmad-rasyid-sutan-mansur.html

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/09/23/mat65m-ar-sutan-mansur-bintang-muhammadiyah-dari-barat-2

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun