Tadi malam adalah malam Minggu. Tapi hati saya cukup gelisah. Gelisah pertama karena jadwal ujian proposal saya yang belum bisa diagendakan. Saya ternyata masih harus lebih bersabar lagi karena saya harus memenuhi permintaan pembimbing utama untuk memperoleh tandatangan pembimbing lainnya yang berada nun jauh di Yogya sana. Meski demikian, saya tetap mensyukuri progres konsultasi kemarin. Senyum manis dan anggukan dari pembimbing utama yang mempersilahkan saya untuk mengurus tandatangan adalah sinyal yang paling saya tunggu selama ini.
Gelisah kedua muncul karena saya menggelisahi sahabat saya yang jadwal ujian kualifikasinya tidak kunjung pula diagendakan. Kemarin, saya mulai memahami mengapa sahabat saya itu memperoleh kendala untuk maju. Lemahnya sistem ternyata dapat berdampak sistemik yang membuat seseorang menjadi terombang-ambing keberadaannya.
Saya tidak ingin membahas detil persoalan kami berdua. Saya ingin bercerita tentang gelisah yang ketiga. Gelisah yang ketiga inilah yang sampai tadi malam membuat saya masih terbawa pikiran. Gelisah ketiga ini juga menjadi benang merah gelisah pertama dan kedua saya.
Dua hari lalu, usai Jumatan, saya ‘cangkruk’ cukup lama di kampus. Saya dipesani oleh sekretaris akademik untuk stand-by di kampus usai Jumatan. Saya memang diagendakan untuk konsultasi dengan pembimbing. Seperti dugaan semula, jadwal pun molor. Untunglah, tak lama kemudian saya kedapatan seorang partner ‘cangkruk’ yang oke bin keren.
Saya tidak akan sebut siapa partner ‘cangkruk’ saya yang oke bin keren ini. Inisial saja ya. Beliau biasa dipanggil PS. Beliau seorang dosen dari PTN sangaaaaaaat ternama di Yogya. Beliau juga salah satu pendiri Koalisi Anti Utang (KAU). Beliau boleh dikata seorang tokoh nasional dengan karya-karyanya yang menggaungkan ekonomi kerakyatan dan anti neolib.
Hampir 1 jam kami menunggu pertemuan dengan pembimbing, tak lama kemudian muncul sohib akrab PS. Beliau juga seorang tokoh nasional yang tidak kalah terkenal. Sering muncul di acaranya Tina Talisa yang Selamat Malam Indonesia itu. Makanya, ketika kami berbincang-bincang, ada sekitar 2-3 orang lewat yang menyapa. “Saya sering lihat Bapak. Bapak kalo ngomong kan paling berani. Gak tahunya bisa ketemu di sini. Hehehe….”, kata seorang bapak. Ada juga yang meminta nomor telepon atau alamat imel. “Maaf Pak, mahasiswa saya ingin mengundang Bapak. Boleh saya tahu bagaimana prosedurnya agar mahasiswa saya bisa mengundang bapak?”, tanya seorang dosen perempuan.
Akhirul kalam, hampir 3 jam kami bertiga terlibat diskusi dengan beberapa topik. Mulai dari Prof. E, Prof. R, Pak Y, masalah SPP, sistem pendidikan tinggi, TOEFL, special audit, hingga ekonomi syariah dan pemerintahan. Dalam diskusi ini, tentu saja tidak banyak pandangan-pandangan yang mampu saya utarakan. Maklum, saya kan masih anak kemarin sore yang tak banyak tahu bagaimana “dunia” ini yang sesungguhnya. Saya jadinya lebih banyak mendengar, bertanya, dan ditanya! Namun demikian, setidaknya ada 1 poin dari pertemuan kami kemarin yang menjadi bahan perenungan saya hingga tadi malam.
Begini… banyak akademisi yang mengkritisi kerja pemerintah. Tapi jika disimak, perguruan tinggi yang menjadi rumah para akademisi pun tak kalah “payahnya” dengan pemerintah. Hal ini setidaknya tercermin dari gap antara staf/pegawai administrasi dengan dosen. Belum banyak perguruan tinggi yang mampu melakukan transfer ilmu dari para intelektual (dosen) kepada para staf/pegawai nondosen di lingkungannya. Kepintaran dan kecerdasan hanya muncul di ruang-ruang perkuliahan, bukan pada ruang-ruang interaksi antara staf/pegawai dengan dosen.
Tidak hanya itu, ribetnya sistem pembayaran SPP dan pengurusan ujian juga menggambarkan betapa perguruan tinggi nyatanya tak selalu mampu juga menghasilkan sistem dan prosedur yang baik dan benar. Selalu ada celah dan kesempatan dalam sistem yang memungkinkan terjadinya moral hazard. Belum lagi waktu yang terlampau lama dan ribet dalam proses pengurusan. Kerap kali tidak ada pendelegasian dan pembagian kerja. Tidak salah kan jika saya berpikir ‘bagaimana mungkin para ekonom menuntut pemerintah untuk menyederhanakan prosedur ijin usaha dan waktu pengurusan jika rumah tinggal para ekonom itu sendiri tak mampu menyederhanakan prosedur pembayaran SPP dan ujian serta meringkas waktu pengurusannya?’.
Ya, banyak dari kita mudah mengritik dan melihat kelemahan orang lain. Tapi ketika diri kita berada pada posisi yang sama, seringkali tak jauh beda. Bahkan, mungkin lebih ‘payah’ dan ‘parah’.
Saya jadi teringat ucapan saya kepada seorang dosen ekonomi yang Departemen-nya diundang untuk mengikuti studi banding ke Batam dan Singapura oleh seorang anggota dewan pusat. “Ke depan, jangan keras-keras kalau mengkritik anggota dewan yang melakukan studi banding ke luar negeri. Tidak adil mengkritik anggota dewan, tapi ketika diri sendiri dibiayai untuk melakukan studi banding ke Batam dan Singapura malah diam saja. Bahkan, tampak sekali begitu senang hati menjalaninya serta tak perlu banyak bertanya dari mana sumber uangnya. Jangan menuding para anggota dewan yang studi banding ke luar negeri itu sekedar mencari dalih, toh para dosen di Departemen ini juga membenarkan studi banding ke Batam dan Singapura sebagai proses pembelajaran yang sangat penting bagi Departemen”…
Saya juga jadi teringat diskusi dengan seorang anggota dewan bidang pendidikan. Beliau bercerita tentang banyaknya dosen yang mengajarkan wirausaha, tetapi dosen itu sendiri tidak pernah berwirausaha.
Mungkin ini pula yang terjadi dengan sektor pertanian kita. Indonesia yang memiliki institut pertanian ternama dan memiliki presiden seorang doktor pertanian, nyatanya tak mampu juga mengangkat derajat petani dan sektor pertanian kepada tempat yang layak. Petani selalu berada dalam kondisi termarjinalkan, apalagi mereka yang hanya menjadi petani penggarap. Peminat sekolah pertanian menurun. Banyak angkatan kerja di perdesaan yang brain-lock dan lebih memilih menjadi TKI. Menjadi petani bukan pilihan masa depan.
Saya jadi teringat dengan seorang guru besar termasyhur di negeri ini. Beliau selalu menggambarkan dirinya sebagai seorang ekonom yang cinta rakyat kecil. Seorang dosen yang menganjurkan mahasiswa-mahasiswanya untuk bersimpati dan berempati dengan masyarakat miskin. Seorang soko guru yang menyerukan antikapitalisme dan antineoliberalisme. Kata-katanya selalu menggelorakan bara di dada untuk melawan tirani dan globalisasi yang merupakan topeng baru dari imperialisme. Tak ada yang salah dari semua itu. Saya pribadi menaruh hormat yang sebesar-besarnya. Saya pun sangat mengasihi dan menyayangi beliau.
Hanya saja, ada sedikit yang membuat seluruh perasaan ini menjadi layu tak berkembang. Ya, setelah melewati waktu dan persahabatan, saya mengetahui betapa lisan tak selalu berwujud pada sikap. Betapa kata-kata sering tak termanifestasi pada perbuatan. Pilihan gaya hidup seperti tak mau naik pesawat kelas ekonomi dan harus Garuda kelas eksekutif, jam tangan mewah, sepatu dari luar negeri, serta hal lain yang mencerminkan eksklusifitas dan kebanggaan diri, membuat saya menjadi terhenyak. Apa seperti ini yang disebut mencintai rakyat kecil? Mengapa tak cukup kita bersikap sederhana dan apa adanya saja?
Ya, tak jarang saya temui penulis dan pengamat yang seolah merasa paling tahu persoalan, merasa paling benar, dan merasa paling baik. Objek yang dikritisi seolah tak ada baik dan benarnya. Saya berharap saya tidak berlaku demikian. Saya tidak ingin menjadi pribadi yang hanya bisa berbicara, tapi tak mau mencoba merealisasikan apa-apa yang dibicarakannya. Saya tidak ingin menjadi pribadi yang hanya bisa mengritik, tapi tak mampu menawarkan solusi. Saya tidak ingin menjadi ekonom yang bak menara gading yang tak tersentuh oleh gapaian rakyat kecil. Saya tidak ingin menjadi ekonom yang tekstual yang tak mampu mengembangkan dirinya menjadi seorang kontekstual. Saya tidak ingin menjadi ekonom yang hanya piawai berbicara teori, histori, dan angka-angka statistik yang rumit dan seolah sangat intelektual. Mmmmm… saya tidak tahu apa saya bisa demikian. Saya khawatir tak memiliki kekuatan hati dan kemampuan diri untuk menjadi seperti apa yang saya mau… T_T