*Oleh: Khairunnisaa Damar Prihatiani
Manusia dan segala opininya. Setiap manusia memiliki akal dan pikiran, menjadikan manusia turut memiliki opini untuk hal ini dan itu. Hal tersebut memungkinkan manusia memiliki opini yang yang beragam bentuknya. Tapi apa jadinya jika opini- opini yang berbeda tersebut dibuat menjadi biner? Menjadi belahan yang "Hitam-Putih" saja, menjadi nominal yang "0-10" saja, bab dunia hanya dibagi menjadi dua bagian saja. Inilah yang sempat terjadi di negeri pertiwi, atau mungkin masih terus terjadi?
Demi terbentuknya keseragaman opini maka elit- elit mencoba cara yang satu ini, cara apa itu? Menggiring Opini Publik. Opini publik, menurut William G. Summer, adalah kekuatan yang ada dalam masyarakat. Yang mana kekuatan tersebut bukan berasal dari pendapat perorangan, tetapi norma atau mitos yang ada dalam masyarakat. Pengertian ini menerangkan jika suatu pendapat dianut oleh banyak orang, maka diasumsikan jika pendapat tersebut benar. Tak aneh jikalau opini publik menjadi hal krusial pada kontestasi politik, terlebih menjelang pemilihan umum. Banyak cara yang telah dilakukan untuk menggiring opini publik, mulai dari pemanfaatan media massa, penggunaan komunikasi persuasif, penyematan data, penggunaan rasa simpati, pemberian kesan (Impression), hingga yang gencar dilakukan belakangan ini, penggunaan media sosial.
Menggiring opini publik menggunan media sosial dirasa efektif dan efisien, mengapa? Karena media sosial, menurut Mark Hopkin (2008), merupakan platform media baru yang memiliki komponen sosial dan sebagai media komunikasi publik. Karena mudahnya komunikasi publik ini, menjadikan mudah pula penyebaran informasi yang "cepat, geratis, dan mudah diterima rakyat." Tak jarang informasi ini dapat pula berupa skenario belaka "hoax". Penyebaran "hoax" akhir- akhir ini merupakan upaya menggiri opini publik yang marak dilakukan. Tak perlu menyewa media massa yang mahal, kekuatan media sosial dalam penyebaran hoax begitu berdampak bagi keberlangsunga hidup bermasyarakat. Tak bisa menutup mata bawasannya di hari kemarin sebelum berlangsungnya pemilihan umum, "hoax-hoax" semakin menjamur, terlebih media sosial menyediakan fitur teruskan (forward) dengan sekali klik.
Sebetulnya dilihat dari diksi yang digunakan hoax lebih menonjolkan kalimat- kalimat persuasif. Terkadang memang hoax-hoax disertai dengan gambar atau bahkan data agar publik merasa diyakinkan dan diteguhkan. Isu yang digemari untuk dijadikan hoax sebetulnya tak jauh dari isu- isu politik dan SARA. Dengan beragamnya SARA yang ada di negeri ini menjadikannya rentan akan perpecahan. Seperti isu Joko Widodo yang dituding sebagai keturunan PKI. Isu ini mencuat dan sempat menggegerkan rakyat, beragam opini mulai bertebaran, group- group whats app pun sampai terpapar hoax ini, yang notabenenya belum diketahui bagaimana kebenarannya pada saat itu. Ini membuktikan rakyat Indonesia mudah dan rentan terpapar berita yang masih simpang siur keberadaannya.
Seperti yang dipaparkan oleh Majelis Syura DPP PKS Hidayat Nur Wahid pernah mengingatkan bahayanya politik identitas atau SARA dalam setiap berlangsungnya kontestasi politik. Menurutnya politik SARA ini dapat melahirkan konflik di tengah masyarakat. Karena itulah Ia mengingatkan semua pihak agar tetap berpegang pada Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Menurut Presiden Joko Widodo sendiri kontestasi politik seharusnya diwarnai adu gagasan dan program. Bukan justru saling mengadu domba, memecah belah, dan menebar kebencian. Guru Besar sekaligus Sosiolog dari Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola, mengatakan, dewasa ini sudah berlangsung politik yang tidak beradab. Salah satunya banyak isu SARA dimanfaatkan untuk kepentingan politik. Hal ini disampaikan saat membuka Focus Group Discussion dengan tema 'Mekanisme Penyelenggaraan Pilkada 2018 dan Pileg, Pilpres 2019 Secara Demokratis'.
Adapun ini dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum bersama Komite bidang politik dan keamanan DPP PDIP. Selasa (24/4/18). Kampanye SARA kerap muncul saat menjelang pemilu dan berpotensi memicu konflik. Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika bagaimanapun juga isu SARA adalah hal yang perlu kita hindari dalam bermasyarakat.
Menggiring opini publik pun bisa melalui rasa simpati rakyat, sebetulnya simpati secara psikologis merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik terhadap pihak lain, sehingga mampu merasakan apa yang dialami, dilakukan dan diderita orang lain. Namun dini hari, rasa simpati rakyat malah dimanfaatkan tak sewajarnya. banyak yang menyalah kaprahkan rasa simpati rakyat untuk menggiring opini dan subejtivitas rakyat. seperti halnya yang terjadi pada kasus Ratna Sarumpaet, sebetulnya penulis menganggap ini merupakan tindakan mengambil simpati yang gagal, dengan menggiring publik untuk terpapar "hoax" yang dibuat-buat dan mendramatisir hal yang tidak sewajarnya, rakyat bagaikan dipermainkan oleh drama yang dibuat. Kalau membicarakan tindakan mengambil simpati yang gagal, rakyat tak lupa dengan kasus Setya Novanto yang mencoba mengambil simpati rakyat dengan "drama kemalangan" yang dibuatnya. Untung saja rakyat lebih kritis ketika kasus ini muncul.
Hal ini membuktikan bahwa opini publik memang hal penting dalam kehidupan bernegara, maka dari itu beropinilah dengan baik, dengan cara bagaimana? Dengan memulai dengan polapikir yang baik pula, jangan mudah tersulut berita hoax yang semakin hari semakin meraja lela, berpikir kritis juga sangan dibutuhkan di masa kini. Kritis juga dapat berupa sikap tidak apatis dan tidak fanatik, seperti halnya mendukung sebuah kebijakan dari tokoh A, bukan berarti harus menyetujui semua kebijakannya, kita tetap bisa mengkritisi kebijakan lain yang ia dikeluarkan. Harus bisa memilah mana yang memang bertujuan demi kemaslahatan bangsa mana yang kiranya kurang sesuai dengan nilai-nilai leluhur yang ada. Kritis memang diperlukan terlebih di jaman yang serba canggih nan modern ini, dimana informasi dapat mudah didapat hanya dengan satu ketikan jari. Seperti yang tertera dalam Q.S. al-ujurt/ 49: 6.
(6)