Dari UU Ketenagakerjaan hingga UU KIA
Kebijakan masa cuti melahirkan telah ditetapkan sebelumnya melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan dengan jangka waktu yang hanya terbatas selama 3 bulan. Peraturan tersebut memberikan hak cuti melahirkan selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Walaupun menjadi langkah awal dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja perempuan, aturan ini dinilai belum cukup untuk mendukung pemulihan ibu pasca persalinan dan pemberian ASI eksklusif yang krusial bagi bayi. Kritik terhadap kebijakan cuti 3 bulan ini memicu perdebatan tentang peran ideal ibu dalam pengasuhan anak serta tanggung jawabnya di tempat kerja.
Sebagai respons terhadap kebutuhan akan dukungan yang lebih baik bagi ibu dan anak, RUU KIA (Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak) mengusulkan perpanjangan cuti melahirkan hingga 6 bulan. Proses pembahasan RUU ini sendiri sudah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Setelah mendapatkan status RUU inisiatif DPR, legislasi ini kini memasuki tahap administratif yang penting, sebagaimana dewan harus menunggu surat presiden (Supres) dan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari Pemerintah.Â
Meskipun tahap ini bersifat teknis, ketepatan dan percepatan prosesnya sangat krusial untuk memastikan bahwa dukungan kepada ibu dan anak tidak tertunda.
Anggota Baleg DPR RI, Luluk Nur Hamidah, mengemukakan bahwa percepatan pembahasan RUU KIA merupakan langkah strategis untuk memutus siklus diskriminasi dan mewujudkan lingkungan yang lebih adil. Menurutnya, RUU ini tidak hanya sebagai kebijakan sosial, tetapi juga sebagai fondasi dalam merealisasikan program pemerintah menuju generasi emas 2045, di mana fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dianggap sebagai masa vital yang menentukan masa depan bangsa (detiknews, 2023). Hingga pada tanggal 6 April 2024, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).
UU KIA 2024 sebagai Instrumen Pemberdayaan Perempuan
UU KIA 2024 memberikan hak cuti melahirkan yaitu hingga 6 bulan (dengan ketentuan tiga bulan pertama penuh gaji, bulan keempat secara penuh, bulan kelima dan keenam dengan upah 75%). Ketentuan ini menjamin bahwa perempuan tidak akan kehilangan pekerjaan atau haknya selama dan setelah menjalani proses melahirkan. Perlindungan ini membantu mengurangi kecemasan perempuan terkait keamanan karir dan pendapatan, sehingga memungkinkan mereka untuk lebih fokus pada pemulihan serta pengasuhan anak.
Pasal 30 Ayat (4) UU KIA, setiap tempat kerja diwajibkan untuk mengadaptasi jadwal kerja dan pembagian tugas bagi para ibu yang telah melalui persalinan. Kebijakan ini dirancang agar para ibu dapat mencapai target kinerja yang telah ditetapkan, dengan tetap menjaga kondisi kesehatan dan kesejahteraan mereka. Langkah dukungan tersebut meliputi penyesuaian tugas, jam kerja, dan perusahaan diwajibkan menyediakan fasilitas seperti ruang laktasi, akses ke layanan kesehatan, dan bahkan tempat penitipan anak. Hal ini mencerminkan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung kebutuhan khusus perempuan.
UU KIA juga mengatur hak cuti bagi suami untuk mendampingi istri saat persalinan. Walaupun porsi cuti bagi ayah masih relatif singkat, langkah ini merupakan sinyal bahwa tanggung jawab pengasuhan anak harus dibagi secara lebih adil antara kedua orang tua, yang secara tidak langsung turut mendorong kesetaraan gender di ranah domestik dan publik. Sekaligus mengurangi beban ganda yang selama ini harus ditanggung
UU KIA berpotensi berperan sebagai katalisator yang meningkatkan semangat kerja dan produktivitas di kalangan pekerja perempuan. Hal ini sejalan dengan target nasional yang ingin mendorong TPAK perempuan menjadi lebih seimbang dengan laki-laki.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!