Mohon tunggu...
Khairul Leon
Khairul Leon Mohon Tunggu... Freelancer - Pengangguran banyak acara

Seorang silent reader yang baru belajar menulis di Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memanen Berkah Air Hujan untuk Masa Depan

29 Oktober 2019   22:35 Diperbarui: 29 Oktober 2019   22:46 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memanen berkah air hujan untuk masa depan. dokpri

Setiap hari, Musliadi (30) berjalan dari rumahnya membawa jerigen kosong untuk mengambil air bersih disalah satu sumur milik warga. Krisis air bersih akibat musim kemarau sejak dua bulan terakhir dialami warga RT.04/RW.09 Desa Sirnagalih, Kec Tamansari, Kab Bogor. Setiap pagi dan sore warga mengambil air, mengangkutnya menggunakan ember dan membawa ke rumah masing-masing.

"Dari pada harus membeli air, lebih baik saya mengambil ke sumur. Walaupun jaraknya cukup jauh yang penting kebutuhan air dapat terpenuhi. Namun, saya tidak tahu beberapa hari ke depan airnya masih ada atau tidak" Tutur Musliadi, Senin (29/8/2019) pagi.

Kejadian serupa dialami oleh M. Fatih (25), warga Desa Cibadung, Kec Gunung Sindur, Kab Bogor. Dia hanya menyalakan mesin air di pagi hari saja sebab air tanah semakin hari semakin surut.

Kekeringan di Bogor (Foto: Khairul Anwar)
Kekeringan di Bogor (Foto: Khairul Anwar)

Sebagai warga Bogor saya pun merasakan dampak kekeringan tersebut yang mulai terjadi pada bulan Juli hingga September 2019. Padahal letak tempat tinggal saya berada di wilayah hulu, tepatnya di kaki Gunung Salak, Desa Tamansari, Ciapus, Bogor.

Berdasarkan data yang diambil dari situs Bogor Online, Kekeringan yang melanda wilayah Ciapus mulai berimbas di hampir seluruh desa. Sumber-sumber air di delapan desa yaitu Desa Pasireurih, Sirnagalih, Tamansari, Sukaresmi, Sukajaya, Sukaresmi, Sukaluyu, dan Sukajadi dirasakan makin surut.

Mau tidak mau saya dan tetangga lainya harus mengambil air ke daerah yang lolos dari bencana musim kemarau. Bahkan dibeberapa tempat ada yang menggelar shalat istiska untuk meminta hujan. Ternyata Kota Hujan yang kita kenal selama ini tak selamanya disapa hujan.

KOTA HUJAN TAPI KEHABISAN AIR HUJAN

Air merupakan sumber yang sangat berharga, air menjadi kebutuhan pokok bagi kehidupan manusia, apalagi bagi masyarakat Indonesia, yang selalu mengalami krisis kekurangan air. Bangsa Indonesia masih belum memiliki budaya konservasi air dan efisiensi pemanfaatan air yang tinggi, kebiasaan membuang-buang air secara sembarangan masih terlihat di mana-mana.

Penggunaan air yang tidak terkontrol akan mengancam keberlanjutan air, sehingga perlu dilakukan konservasi air. Salah satu metode konservasi air yaitu dengan Memanen Air Hujan (Rain Water Harvesting), yaitu suatu praktik  mengumpulkan, menampung, dan menyimpan air hujan sebelum berkesempatan menyentuh tanah sehingga berubah wujud menjadi ground water atau air tanah.

Jika sistem panen air hujan diterapkan maka akan memberikan dampak yang besar bagi lingkungan seperti mencegah banjir pada musim hujan dan mengatasi kekeringan pada musim kemarau.

curah-hujan-2018-2-5db83f6b097f367c956b81b2.png
curah-hujan-2018-2-5db83f6b097f367c956b81b2.png

Curah Hujan Bulanan rata-rata wilayah Bogor (Tahun 2018)

Sumber: Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika

Berdasarkan data curah hujan yang terdapat pada diagram di atas dapat dilihat bahwa curah hujan tertinggi di Bogor terdapat pada bulan februari sebesar 500 mm, dan terendah pada bulan Juli, yaitu 50 mm.

Bogor termasuk dalam wilayah dengan rata-rata curah hujan tinggi. Saat hujan lebat, tumpahan air bisa mencapai skala jutaan liter. Sayangnya ketersediaan air hujan yang melimpah belum dimanfaatkan secara optimal pada musim kemarau. Air hujan seringkali dibiarkan mengalir begitu saja ke selokan dan sungai. Padahal ini merupakan peluang yang sangat potensial untuk memanen air hujan.

Rekayasa memanen air hujan sebenarnya bukan hal baru bagi masyarakat tradisional di berbagai daerah seperti Bali, Jambi, Aceh, Klaten, dan lain sebagainya, terutama di daerah-daerah yang kekurangan air. Sedangkan di daerah-daerah yang tidak terlalu kekurangan air sampai daerah surplus air, rekayasa memanen air hujan tidak berkembang karna masyarakat mampu bertahan tanpa harus memanen air hujan. Meski nyatanya, masih banyak masyarakat yang kekurangan air pada musim kemarau. Bahkan, daerah mereka banyak terjadi banjir karna hujan lokal.

Berdasarkan hasil survei dari 70 orang responden melalui sosial media, hanya 16 orang (20%) yang sudah mengetahui praktek panen air hujan sementara sisanya 63 orang (80%) tidak tahu sama sekali. Saya sendiri baru mengenal teknik memanen air hujan saat melakukan kunjungan ke Desa Bongkasa Pertiwi di Bali dalam rangka Danone Blogger Academy 2019 bersama AQUA.

Kunjungan Peserta Danone Blogger Academy 2019 di Desa Bongkasa Pertiwi Bali (Foto: DBA 3)
Kunjungan Peserta Danone Blogger Academy 2019 di Desa Bongkasa Pertiwi Bali (Foto: DBA 3)

Senior Stakeholder Relation Manager Pabrik AQUA Mambal, Forcy Tjandra menyampaikan bahwa AQUA telah membentuk sekolah lapang konservasi di Bali. Masyarakat bisa belajar tentang penanaman dan pemeliharaan pohon, mendapatkan manfaat dari jasa lingkungan, anak-anak bisa menerima beasiswa pohon, dan membangun fasilitas Panen Air Hujan (PAH). Penerapan pembentukan konservasi air dan lingkungan di desa ini diharapkan mampu mewujudkan lingkungan yang mendukung ekowisata. Sehingga wisatawan tidak sekadar menikmati indahnya pemandangan, tapi juga belajar bagaimana masyarakat menghargai dan menjaga alam dengan kearifan lokal yang kuat.

Dari kunjungan tersebut saya termotivasi untuk memanen air hujan di tempat tinggal saya, Bogor. Panen air hujan dapat menjadi solusi sederhana namun efektif untuk mengatasi krisis air bersih yang terjadi hampir setiap tahun.

BAGAIMANA CARA MEMANEN AIR HUJAN?

Pemanenan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu land-based system dan roof-based system. Pemanenan air hujan land-based system merupakan jenis pemanenan air hujan ketika air hujan sudah terlanjur menyentuh tanah dan mengalir diatas lahan kemudian dengan sengaja dikumpulkan dan dimasukkan kedalam suatu kolam, danau, atau bak-bak penampungan air, baik dalam skala ukuran menengah atau besar, sebelum sempat masuk ke dalam sungai atau aliran air lain. Sementara metode pemanenan air hujan roof-based system dilakukan dengan cara mengumpulkan air hujan yang jatuh di atas atap rumah tempat tinggal keluarga sebelum menyentuh tanah.

Ilustrasi panen air hujan roof-based system
Ilustrasi panen air hujan roof-based system

Secara garis besar, ada tiga komponen dalam alat pemanenan air hujan dari atap bangunan ini. Collector berupa atap bangunan, conveyor sebagai saluran air, dan storage berupa tangki penyimpanan air. Awalnya, air hujan akan menerpa atap bangunan dan terkumpul melalui talang (gutter) di sekeliling bangunan. Agar terhindar dari pencemaran, dinding atap itu tidak boleh menggunakan bahan asbes serta jangan mengalami pengecatan yang mengandung unsur yang mungkin mencemari air, seperti chrome, besi atau metal. Atap sebaliknya juga tidak terganggu oleh pepohonan, sehingga tidak ada dedaunan atau kotoran hewan yang ikut mengalir melalui talang (conveyor). Sebagai proses pembersihan awal, perlu dipasang alat penyaring/alat yang berbentuk tipping bucket atau alat penyaringan lainnya untuk kemudian air yang kotor disalurkan melalui pipa air menuju saluran drainase, dan air yang sudah cukup bersih disalurkan ke bak penampungan.

Tangki-tangki penampung air hujan (Foto: Khairul Anwar)
Tangki-tangki penampung air hujan (Foto: Khairul Anwar)

Meskipun pemanenan air hujan roof-based system relatif lebih rendah kontaminasinya kedua sistem tersebut memiliki peluang yang sama, yaitu tercemar oleh lingkungan sekitar. Air hujan yang dipanen di kawasan lingkungan yang masih asri, seperti lokasi tinggi pada daerah pegunungan, kawasan yang paling kurang terpolusi di dunia, akan menghasilkan air hujan yang sangat bersih dibandingkan yang dipanen dari kawasan kota-kota besar dan pusat industri. Oleh karna itu, air hujan yang terkumpul perlu mengalami perlakuan atau pengolahan air sebelum air tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari.

Tingkat perlakuan yang perlu dilakukan sangat tergantung pada tujuan penggunaan air tersebut, yaitu sebagai potable atau non potable. Air dikatakan dapat digunakan sebagai potable, misalnya untuk air minum dan pengolaan pangan. Sementara, air dikatakan sebagai non potable misalnya untuk keperluan mandi, mencuci piring, mencuci tangan dan lain-lain.

AMANKAH MENGONSUMSI AIR HUJAN?

Air hujan yang ditampung sudah tentu bisa dipakai untuk keperluan non potable, Sementara untuk pemanfaatan air hujan sebagai air minum (potable) perlu melalui penelitian terlebih dahulu.

dr. Nurul Mutumanikam menyampaikan materi tentang Healthy Hydration pada peserta Danone Blogger Academy 2019 (Foto: DBA 3)
dr. Nurul Mutumanikam menyampaikan materi tentang Healthy Hydration pada peserta Danone Blogger Academy 2019 (Foto: DBA 3)

Menurut dr. Nurul Mutumanikam selaku ketua Departemen Imu Gizi Fakultas Kedokteran UI, Air hujan itu bercampur dengan segala macam material seperti asap atau polusi udara. Banyak zat terlarut yang pada saat penguapan terus turun ikut larut di dalamnya. Kita juga tidak tahu apa yang ada di udara bebas. Kalau dulu mungkin masih tidak mengapa. Tapi kalau sekarang sudah banyak polusi udara.  Tidak aman dikonsumsi.

Lebih baik air hujan itu ditampung, kemudian diproses. Tapi proses tertentu, seperti proses elektroforosis. Meski begitu kandungan baik (zat-zat baik) dalam air hujan tetap ada, hanya saja perlu proses untuk membuang kandungan/zat yang berbahaya.

Untuk proses pengolahan yang tepat, ada standarnya. Kalau direbus saja tidak cukup karena mengubah komponen di dalamnya, karena mungkin ada zat yang lebih kita butuhkan ternyata hilang akibat proses tersebut.

Agus Maryono dalam bukunya yang berjudul Memanen Air Hujan menjelaskan, Proses pengolahan air hujan yaitu dengan cara melakukan ionisasi dengan menggunakan alat sederhana arus searah atau DC. Molekul-molekul air akan terurai menjadi dua kelompok, yaitu ion negative OH- dan ion positif H+. Air yang basa/negative bersifat sangat jernih, tidak berbau dan terasa enak dilidah. Selain menyehatkan, mereka yang minum air basa tersebut baik keringat, kotoran, serta nafas mulutnya tidak terlalu berbau busuk.

Warga memanfaatkan air hujan yang sudah ditampung untuk berwudu (Foto: Khairul Anwar)
Warga memanfaatkan air hujan yang sudah ditampung untuk berwudu (Foto: Khairul Anwar)

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Romo V. Kirjito di kawasan Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dilaporkan bahwa air hujan adalah air rendah mineral. Baik itu dari hujan ke hujan yang lain, maupun dari bak yang satu ke bak penyimpanan yang lain. Bahkan, pada air hujan yang ditampung pada kedung/bak dari tanah, semuanya tidak ada yang kandungan mineralnya melebihi standar WHO, yaitu 50 ppm.

Romo V. Karjito menambahkan, bahwa ia tidak pernah menemukan air hujan yang asam, baik yang sudah disimpan di bak maupun dalam botol tertutup. Semua air hujan dalam penelitian tersebut memiliki pH tinggi di atas 8. Jadi, memiliki simpanan air hujan sebetulnya harus bangga karna air hujan merupakan sumber air, alami, bersih, layak dikonsumsi dan tidak disukai oleh bakteri, Sebab bakteri tidak akan hidup dalam air murni atau aquadestilata.

Desa Meryan, Boyolali (Foto: Khairul Anwar)
Desa Meryan, Boyolali (Foto: Khairul Anwar)

Gerakan panen air hujan sudah banyak dirasakan manfaatnya di berbagai daerah, salah satunya yaitu di Desa Mriyan, Kec Tamansari, Kab Boyolali. Desa ini berada di lereng gunung Merapi yang menjadi salah satu sumber mata air AQUA. Namun, walaupun berada di kawasan hulu, daerah ini sering mengalami kekeringan air sebab kontur tanahnya yang porous, yaitu jenis tanah yang mampu dengan mudah dan cepat meresapkan air karena memiliki rongga pori-pori yang dominan.

Walaupun begitu, setiap kepala keluarga di Desa Mriyan sudah menerapkan konsep Panen Air Hujan (PAH) digabungkan dengan pembuatan sumur resapan, sehingga warga tidak pernah mengalami kekurangan air walau berada dimusim kemarau sekalipun.

Ibu Titik Susana Ristyawati dari Lembaga Pengembangan Teknologi Perdesaan (LPTP) Desa Mriyan menjelaskan, karakter hulu DAS di Desa Mriyan adalah kering dan bersifat porous. Ia juga menambahkan bahwa tidak semua hulu DAS berbentuk hulu sungai. Untuk mengantisipasi kekeringan air warga sudah membuat kolam penampungan air hujan secara permanen. Ada juga tangki-tangki air hujan yang disimpan di berbagai fasilitas umum seperti masjid untuk  berwudhu.

Bapak Painu, ketua RT Desa Mriyan menambahkan, “musim kemarau dapat berlangsung sampai 4-5 bulan. Penampungan air hujan yang sudah dibuat secara turun temurun ini dapat mencukupi kebutuhan air selama musim kemarau”.

Praktik memanen air hujan yang mudah dan sederhana ini dapat menjadi langkah yang efektif untuk konservasi air. Sekali tangki air sudah berdiri, air dapat ditangkap dan disimpan untuk beberapa tahun tanpa tambahan biaya.

Dengan dukungan dari Pemerintah Daerah dan kesadaran masyarakat akan potensi air hujan, diharapkan warga mampu membuat penampungan air hujan di rumah masing-masing. Rumah tangga perlu mendapat informasi yang cukup mengenai potensi pemanfaatan air hujan beserta implikasinya dari aspek kesehatan, finansial, lingkungan dan lainnya.

Yuk, memanen air hujan!

________

Sumber:

  1. [BMKG] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika
  2. FG Winarno, Memanen Air Hujan. 2016. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
  3. Maryono, Agus. 2016. Memanen Air Hujan, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
  4. Ni Made Indra Wahyuni dan I.A Eka Pertiwi Sari. 2017. Ayung Lestari, Urat Nadi Kehidupan Badung.Denpasar: YPPLH Bali.
  5. Analisis pemanenan hujan dari atap bangunan: studi kasus gedung-gedung dikampus IPB Dramaga Bogor. Disertasi
  6. Bogor Online, Kekeringan desa Tamansari tunggu provinsi, 
  7. Aqua. 2019. Pabrik AQUA Mambal Perkenalkan Muatan Lingkungan melalui Ekowisata  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun