Mohon tunggu...
Khairil Miswar
Khairil Miswar Mohon Tunggu... Penulis - Esais

Pemulung Buku Tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Wahabi Baca Qunut di Aceh

6 Maret 2015   19:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:04 373
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 06 Maret 2015

Jujur saja, saya sudah merasa “muak” terus-menerus memperbincangkan Wahabi. Padahal masih banyak topik lain yang penting untuk dibahas. Namun apa hendak dikata, orang-orang terus “membidik” Wahabi dengan sejuta tuduhan tak berdasar. Isu Wahabi telah dijadikan sebagai sarana untuk meluapkan emosi “kejahilan” yang telah mengakar di kepala “mereka”. Lagi-lagi, tulisan ini tidak bermaksud memprovokasi siapa pun, tidak pula untuk menggurui, tapi hanya sekedar “usaha kecil-kecilan” untuk membela saudara se-iman yang terus-menerus dijadikan “bulan-bulanan” oleh sebagian pihak.

Tulisan ini pada hakikatnya adalah kelanjutan dari tulisan sebelumnya yang bertajuk “Wahabi, Wahabi dan Wahabi” yang sempat tersiar di forum ini. Akibat tulisan tersebut, berbagai komentar pun bermunculan. Ada sebagian kecil yang mendukung, namun tidak sedikit pula yang “mengecam”. Malah ada yang menyarankan saya untuk banyak-banyak membaca. Saya berterima kasih atas berbagai koreksi yang disampaikan. Bahkan ada yang marah-marah, karena saya mengkritik Sirajuddin Abbas. Tapi sayangnya, mereka tak adil – ketika Sirajuddin Abbas mengkritik Ibn Taimiyah dan “menghujat” Wahabi, mereka justru diam saja. Segala konsekwensi, baik yang manis (dukungan) maupun yang pahit (hujatan), keduanya – meminjam istilah Thayeb Loh Angen – saya minum dalam waktu bersamaan.

Sebenarnya, tulisan sebelumnya dengan tajuk “Wahabi, Wahabi dan Wahabi” adalah bentuk “kekesalan” saya kepada saudara saya Syaikhul Akbar Muhammad Iqbal Jalil yang secara tidak langsung telah “merusak” ukhuwah Islamiyah dengan tulisannya yang mengkritik kedatangan Syaikh Adil Al-Kalbani ke Aceh. Syaikh Al-Kalbani disebut-sebut sebagai Wahabi.

Ada sebagian rekan bertanya, kenapa tulisan saya tersebut tidak dikirim ke media cetak saja seperti Serambi Indonesia ,Waspada Medan atau media cetak lainnya agar bisa dibaca oleh Muhammad Iqbal Jalil. Rasanya tak perlu saya jawab, selama media-media itu masih “waras” tentunya tulisan tentang Wahabi akan sulit mendapat tempat, kecuali jika saya punya media sendiri. Jika saya punya media sendiri, tentu saya akan tulis tentang Wahabi setiap hari. Sampai-sampai, jika satu hari saja saya lupa menulis, orang-orang akan bertanya: “apa tidak ada berita tentang Wahabi hari ini?” Begitulah.

Sebagai seorang muslim, saya merasa punya kewajiban untuk mendamaikan saudara saya yang bertikai, tentunya sesuai dengan kemampuan yang ada. Hal ini sebagaimana telah difirmankan oleh Allah dalam Al-Quran. Innamal mukminuna ikhwah, fa ashlihu baina akhawaikum (setiap mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah saudaramu).

Saya juga teringat sebuah hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam yang oleh para ulama dikatakan shahih riwayatnya. “La yu`minu ahadukum hatta yuhibbu li akhihi ma yuhibbu li nafsihi” (tidak-lah disebut beriman seseorang itu, sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri). Atas dasar ini-lah saya berani menulis sekedar perlu, demi saudara saya yang “dihantam” habis-habisan oleh saudaranya sendiri.

Baca Qunut dan Jahar Bismillah

Sekedar mengingatkan, bahwa tulisan ini masih berkait erat dengan surat terbuka yang dilayangkan oleh saudara saya Al-Imam Muhammad Iqbal Jalil di kolom droe keu droe Harian Serambi Indonesia beberapa waktu lalu. Akhirnya Allah ‘Azza Wajalla telah “menggulung lidah” orang-orang yang selama ini menaruh syak wasangka tak berdasar kepada seorang ulama besar di tanah haram. Berbagai tudingan emosional yang dituduhkan kepada Syaikh Adel Al-Kalbani oleh Imam Muhammad Iqbal Jalil tidak terbukti adanya.

Dalam suratnya, Muhammad Iqbal Jalil menyebut bahwa Syaikh Adel Al-Kalbani adalah seorang Wahabi yang idiologinya berseberangan dengan keyakinan umum masyarakat Aceh. Demikian pula dengan mazhab fiqih yang dianut oleh Al-Kalbani juga dianggap bertolak belakang dengan mazhab Syafi’iyah yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Aceh.

Namun apa lacur? Syaikh Al-Kalbani justru telah menunjukkan kebesaran jiwanya yang sangat menghargai pemahaman agama masyarakat Aceh. Beredar informasi, bahwa Syaikh Al-Kalbani menjaharkan bacaan bismillah ketika membaca Fatihah. Tidak hanya itu, beliau juga membaca doa qunut pada saat memimpin shalat Shubuh. Sesuatu yang tak pernah terduga sebelumnya dan mungkin tak pernah terpikir oleh Al-Imam Muhammad Iqbal Jalil. Ketakutan berlebihan yang melanda Muhammad Iqbal Jalil cs selama ini hanyalah ketakutan yang tak beralasan.

Apa yang telah dilakukan oleh Al-Kalbani di Aceh, tentunya berbeda jauh dengan tingkah sebagian masyarakat Aceh yang datang ke tanah suci. Ada sebagian kecil masyarakat Aceh yang tidak mau shalat di belakang Imam Masjidil Haram ketika mereka pergi haji atau umrah. Alasan mereka, karena imamnya Wahabi. Han ek takhem (tak sanggup tertawa).

Beberapa waktu lalu, ada sebuah akun facebook di Aceh yang mengomentari kedatangan Syaikh Al-Kalbani ke Aceh. Si pemilik akun menulis: “jameun awak Arab keuno bak ulama Aceh dijak meureuno agama, jino pu pasai awak Arab jak peurateb ureung Aceh” (dulu orang Arab belajar agama pada ulama Aceh, sekarang kok tiba-tiba orang Arab mau mengajarkan orang Aceh), kira-kira seperti itulah kalimatnya. Pernyataan seperti ini, bukan hanya bertentangan dengan fakta sejarah, tapi juga membuktikan sungguh congkak dan sombongnya kita, padahal ilmu kita barulah secuil.

Adapula yang menulis: “Aceh nyo seuramoe Mekkah, hana peurle jak meuruno bak awak Mekkah” (Aceh ini Serambi Mekkah, jadi tidak perlu belajar pada orang Mekkah). Aneh. Kalau memang tidak senang kepada Mekkah, buat apa pakai nama Mekkah segala. Kenapa tidak sebut saja serambi lain, jangan Serambi Mekkah. Lagi pula di Mekkah juga Wahabi semua, itu artinya Serambi Mekkah sama saja dengan Serambi Wahabi. Nah! Bingung jadinya. Wallahul Musta’an.

*Penulis adalah Mahasiswa PPs UIN Ar-Raniry, Konsentrasi Pemikiran dalam Islam

Blog Pribadi Penulis: patahkekeringan.blogspot.com


Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun