Salah satu sektor yang paling terdampak adalah industri otomotif. Mobil modern membutuhkan baja dan aluminium dalam jumlah besar, namun juga membutuhkan bahan dengan kualitas spesifik yang seringkali hanya tersedia dari luar negeri. Dengan melonjaknya harga bahan baku akibat tarif, produsen seperti General Motors dan Ford mengalami tekanan anggaran, memaksa mereka untuk meninjau ulang rencana investasi dan bahkan mem-PHK sebagian tenaga kerja. Reuters mencatat bahwa hingga tahun 2020, sekitar 2.000 pekerjaan di sektor otomotif telah hilang secara langsung akibat kenaikan biaya produksi yang dipicu oleh tarif tersebut.
Dampaknya tak berhenti pada industri besar saja. Konsumen sehari-hari juga terkena imbasnya dalam bentuk kenaikan harga barang-barang rumah tangga. Sebuah studi dari Peterson Institute for International Economics menemukan bahwa harga mesin cuci, misalnya, melonjak hingga 12% hanya beberapa bulan setelah diberlakukan tarif impor. Ironisnya, beban kenaikan harga ini justru jatuh kepada rumah tangga kelas menengah dan pekerja harian—kelompok yang paling dijanjikan perlindungan oleh kebijakan Trump.
Efek Domino dan Pembalasan Global
Dampak kebijakan tarif Trump tidak hanya terbatas di dalam negeri. Di panggung internasional, langkah agresif ini memicu reaksi keras, terutama dari China yang menjadi sasaran utama. Pemerintah China dengan cepat memberlakukan tarif balasan terhadap barang-barang ekspor utama Amerika, termasuk produk pertanian seperti kedelai, jagung, dan daging babi—komoditas yang menjadi tulang punggung ekonomi di banyak negara bagian pertanian seperti Iowa, Nebraska, dan Kansas.
Hasilnya sangat terasa. Ekspor kedelai Amerika ke China—yang sebelumnya mencapai lebih dari $12 miliar per tahun—anjlok hingga 75% pada tahun 2018. Banyak petani mengalami kerugian besar, kehilangan pasar yang telah mereka bangun selama puluhan tahun. Beberapa bahkan terpaksa menjual lahan atau menunda musim tanam. Tingkat kebangkrutan petani di Midwest mencapai level tertinggi sejak krisis ekonomi 2008, menurut laporan dari NPR.
Pemerintah AS akhirnya harus mengeluarkan paket bantuan finansial senilai $28 miliar untuk meredam amarah petani dan mencegah kehancuran sektor pertanian. Namun bagi banyak pihak, bailout ini merupakan semacam pengakuan diam-diam bahwa kebijakan tarif tidak berjalan sesuai rencana. Yang lebih memprihatinkan, perang dagang ini juga menciptakan ketidakpastian di pasar global, mengganggu rantai pasok internasional, dan memperlemah posisi diplomatik Amerika dalam forum-forum perdagangan global. Dengan kata lain, alih-alih memulihkan kekuatan ekonomi AS, kebijakan tarif justru memicu ketegangan dan kerugian di berbagai lini.
****
Kebijakan tarif impor Donald Trump, yang digadang-gadang sebagai senjata utama untuk memulihkan kejayaan ekonomi Amerika, pada akhirnya justru mengungkap kompleksitas dan tantangan besar dalam menjalankan proteksionisme di era globalisasi modern. Di permukaan, kebijakan ini memang berhasil menciptakan beberapa momentum positif—seperti pembukaan kembali pabrik baja dan narasi kebangkitan industri nasional. Namun, jika kita menilik lebih dalam, bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa manfaat tersebut hanya bersifat lokal dan jangka pendek, sementara biaya ekonominya jauh lebih luas dan berjangka panjang.
Dari sektor industri yang terpukul oleh kenaikan harga bahan baku, hingga petani yang kehilangan akses pasar ekspor, dan konsumen yang harus membayar lebih mahal untuk barang-barang kebutuhan sehari-hari, kebijakan tarif ini menciptakan efek domino yang tak bisa diabaikan. Bahkan di medan diplomasi internasional, kebijakan ini memperlemah posisi tawar Amerika dan menambah ketegangan dalam hubungan dagang global. Apa yang dimaksudkan sebagai langkah perlindungan, pada kenyataannya seringkali menjadi bumerang yang menciptakan kerentanan baru.
Lebih penting lagi, kebijakan ini menyingkap kesenjangan mendalam antara retorika politik dan realitas ekonomi. Proteksionisme memang bisa menjadi alat yang efektif dalam kondisi tertentu, tetapi jika dijalankan secara sepihak dan tanpa strategi jangka panjang yang terintegrasi—misalnya dalam bentuk investasi dalam pendidikan, inovasi teknologi, dan penguatan rantai pasok domestik—maka hasilnya tidak akan berkelanjutan. Perlindungan industri seharusnya tidak berarti menutup diri dari dunia, melainkan memperkuat daya saing dari dalam.
Pengalaman dari era tarif Trump menjadi pelajaran berharga bagi pembuat kebijakan di masa depan. Bahwa melindungi pekerja domestik bukan hanya soal membatasi barang asing, tetapi soal membangun ekosistem ekonomi yang adil, produktif, dan berorientasi masa depan. Di dunia yang saling terhubung seperti sekarang, pertanyaan yang perlu terus diajukan adalah: bagaimana menciptakan kebijakan perdagangan yang tidak hanya kompetitif secara global, tetapi juga benar-benar inklusif bagi seluruh lapisan masyarakat Amerika?