Mohon tunggu...
khafidhotulfirda
khafidhotulfirda Mohon Tunggu... Mahasiswa

Memiliki kepribadian optimis untuk selalu sukses

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tarif Impor Trump: Bantu atau Rugikan Pekerja AS?

17 April 2025   08:58 Diperbarui: 17 April 2025   08:58 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Donald Trump terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016, salah satu janji paling nyaring yang ia gaungkan adalah membalikkan arus globalisasi yang, menurutnya, telah menghancurkan jantung ekonomi Amerika: sektor manufaktur. Melalui slogan populernya, “Make America Great Again,” Trump menjanjikan kebangkitan industri dalam negeri dan kembalinya jutaan pekerjaan yang, selama beberapa dekade terakhir, telah berpindah ke luar negeri—khususnya ke China dan Meksiko. Di tengah keresahan masyarakat kelas pekerja akibat hilangnya pekerjaan, stagnasi upah, dan ketimpangan ekonomi yang melebar, pesan Trump terdengar seperti harapan baru.

Salah satu senjata utama dari agenda ekonomi Trump adalah kebijakan tarif impor—sebuah pendekatan proteksionis yang jarang digunakan secara agresif oleh presiden AS dalam beberapa dekade terakhir. Pada tahun 2018, pemerintahannya mulai memberlakukan tarif tinggi terhadap sejumlah produk asing, terutama baja dan aluminium, serta ribuan produk lainnya yang diimpor dari China. Langkah ini bukan hanya didasarkan pada perhitungan ekonomi, tetapi juga digerakkan oleh semangat nasionalisme ekonomi: melindungi pekerja Amerika, mengurangi defisit perdagangan, dan menantang dominasi ekonomi China di panggung global.

Kebijakan tarif ini segera memicu reaksi beragam. Di satu sisi, ia disambut sorak sorai oleh banyak buruh pabrik dan serikat pekerja yang selama ini merasa ditinggalkan oleh sistem perdagangan bebas. Fasilitas produksi yang sebelumnya ditutup mulai beroperasi kembali, dan muncul narasi bahwa “pekerjaan Amerika akhirnya pulang kampung.” Namun di sisi lain, para ekonom memperingatkan bahwa kebijakan seperti ini jarang datang tanpa biaya besar: harga barang bisa naik, rantai pasokan terganggu, dan sektor industri yang bergantung pada bahan baku impor bisa terkena dampaknya secara signifikan.

Lebih jauh lagi, kebijakan ini memicu perang dagang dengan China—dua negara ekonomi terbesar di dunia saling balas memberlakukan tarif yang berdampak pada miliaran dolar perdagangan dan jutaan pekerja di kedua negara. Petani kedelai di Midwest, pemilik usaha kecil, hingga konsumen rata-rata di Amerika mulai merasakan tekanan dari konflik yang awalnya dimaksudkan untuk melindungi mereka.

Melalui artikel ini, kita akan menggali lebih dalam tentang dampak nyata dari kebijakan tarif Trump: Apakah benar tarif ini membawa kembali pekerjaan manufaktur seperti yang dijanjikan? Siapa sebenarnya yang paling diuntungkan, dan siapa yang diam-diam menanggung bebannya? Dengan membedah data ketenagakerjaan, efek harga, serta dinamika geopolitik yang menyertainya, kita akan mencoba menjawab pertanyaan mendasar: Apakah tarif impor ala Trump benar-benar menjadi solusi bagi pekerja Amerika, atau justru jebakan yang memperdalam luka ekonomi yang ingin ia sembuhkan?

Janji Politik dan Realitas Awal

Sejak awal masa kampanyenya, Donald Trump tak henti menyoroti bagaimana perjanjian perdagangan bebas dan kebijakan globalisasi telah “menguras” kekayaan Amerika dan menghancurkan basis industrinya. Dalam pandangannya, kota-kota industri seperti Detroit, Pittsburgh, dan Youngstown menjadi simbol kegagalan sistem yang membiarkan pekerjaan Amerika mengalir ke luar negeri demi keuntungan korporasi multinasional. Oleh karena itu, ketika menjabat, Trump bergerak cepat dengan memberlakukan tarif sebesar 25% untuk baja dan 10% untuk aluminium impor, dengan harapan memulihkan daya saing industri dalam negeri.

Langkah ini disambut antusias oleh sebagian pelaku industri dan pekerja di sektor-sektor terdampak. U.S. Steel, misalnya, mengumumkan pembukaan kembali fasilitas di Granite City, Illinois—yang sempat ditutup sebelumnya—dan merekrut sekitar 800 pekerja baru. Pemerintahan Trump menyebut ini sebagai bukti nyata keberhasilan kebijakan “America First,” bahkan merilis data internal yang menyatakan bahwa lebih dari 12.000 pekerjaan baru tercipta di sektor baja setelah penerapan tarif.

Namun, banyak pengamat dan ekonom menilai klaim ini terlalu prematur dan sepihak. Mereka menyoroti bahwa angka tersebut tidak mencerminkan keseimbangan menyeluruh dari pasar tenaga kerja, terutama karena sektor manufaktur tidak berdiri sendiri. Industri pengguna baja dan aluminium—seperti otomotif, mesin industri, dan konstruksi—justru menghadapi kenaikan biaya produksi yang signifikan, yang berisiko menekan daya saing dan membuka peluang terjadinya pemangkasan tenaga kerja di sektor-sektor tersebut. Dengan kata lain, pekerjaan yang mungkin “diciptakan” di satu sisi, bisa jadi “dihapuskan” di sisi lain.

Dampak Negatif yang Tidak Terduga

Meskipun langkah Trump tampak seperti suntikan semangat bagi pekerja industri, kenyataannya lebih rumit dari sekadar membuka kembali pabrik-pabrik tua. Menurut laporan dari Tax Foundation pada tahun 2020, kebijakan tarif secara keseluruhan justru menyebabkan kerugian bersih sekitar 165.000 pekerjaan di Amerika Serikat. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan keuntungan yang dipublikasikan oleh Gedung Putih, menunjukkan bahwa efek riilnya justru lebih destruktif terhadap ketenagakerjaan nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun