Mohon tunggu...
Khadeejannisa
Khadeejannisa Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan swasta

بسم الله Menulis adl caraku berbagi dan bercerita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Akankah Kembali ke Era Pesawat Milik Borjuis?

16 Agustus 2022   20:45 Diperbarui: 16 Agustus 2022   20:50 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: dokumen pribadi

Banyak memori yang terekam dalam ingatan ini ketika mendengar kata "pesawat". Dahulu kendaraan besi terbang ini menjadi favorit saya setelah kereta api, karena lebih menghemat waktu dan tenaga, jadwal penerbangan yang fleksibel, tujuan bervariasi, dan sering promo. Setidaknya sebelum pandemi melanda hingga membuat prosedur naik pesawat menjadi rumit dan tak lagi ramah di kantong.

Rasanya saya masih bisa mengingat jika dahulu keberadaan pesawat adalah kendaraan mewah bagi kaum beruang saja. Bagaimana tidak, kala itu tiket pesawat bisa seharga satu kali gaji UMR. 

Tiket dicetak secara manual melalui loket penukaran tiket ataupun calo, bukan secara online seperti sekarang. Begitu istimewanya tak heran jika dahulu anak-anak kecil akan heboh melambaikan tangan dan berteriak "pesawaaaat...minta duiiiiit" ketika melihat ada pesawat sedang melintas wkwkw.

Pernah ketika kecil saya ikut mengantarkan kerabat yang bepergian ke Jakarta menggunakan pesawat. Kala itu banyak sekali perbedaannya dengan kondisi sekarang. 

Terbatasnya maskapai dan tujuan penerbangan serta merta membuat penumpang serasa menjadi tamu eksklusif. Penumpang diijinkan datang hingga 30 menit sebelum jadwal keberangkatan. 

Tak hanya itu, pengantar juga boleh mengantarkan penumpang bahkan sampai ke tempat duduknya di dalam pesawat. Tak jauh beda dengan suasana naik bis kota bukan.

Perbedaan lain yang tampak yakni space antar kursi penumpang ekonomi lebih luas dengan pelayanan yang memuaskan. Meski tak ada hiburan multimedia selama perjalanan, namun terbayarkan dengan menu hidangan yang spesial, pramugari yang fokus melayani sepenuh hati, tidak ada batasan max kabin bahkan bebas merokok dan miras (rasanya akan mengganggu jika diterapkan hingga sekarang)  

Pengalaman pertama saya naik pesawat adalah beberapa tahun lalu, ketika diajak oleh teman-teman kantor liburan bareng. Waktu itu kami mendapatkan tiket promo Air A*** tujuan Surabaya-Bali PP seharga 400K saja. 

Berawal dari situ saya mulai terbiasa mencari tiket promo untuk bepergian melalui jalur udara. Beberapa maskapai penerbangan pernah saya coba dengan "bismillah" semoga selamat sampai tujuan. Karena saya meyakini bahwa keselamatan adalah kuasa Tuhan, bukan bergantung pada harga tiket hehe. Toh kecelakaan pesawat masa kini tidak sesering yang terjadi di masa yang lalu.

Menyesuaikan dengan kantong gaji sebagai pekerja berpenghasilan UMR, biasanya saya memilih maskapai penerbangan tingkat menengah kebawah. Untungnya beberapa kali juga merasakan maskapai penerbangan no.1 di Indonesia karena menjalankan tugas perjalanan dinas dari kantor. 

Seringnya sih melakukan perjalanan dalam negeri, tiga kali perjalanan ke luar negeri dan satu diantaranya adalah umroh. Nah yang terakhir lebih katrok lagi hehe karena baru pertama kali itu melakukan perjalanan udara selama belasan jam. 

Sulit rasanya membayangkan bagaimana orang-orang terdahulu melakukan perjalanan ke tanah suci dengan jalur laut. Benar-benar butuh ekstra tenaga dan mental yang kuat pastinya. Tapi saya selalu berusaha mengambil hikmah, pelajaran dari setiap pengalaman perjalanan yang dilalui. Terutama bersyukur karena masih diberi kesempatan dan keselamatan oleh Yang Maha Kuasa.

Menanggapi kenaikan harga tiket pesawat yang telah disetujui oleh Kemenhub per 4 Agustus 2022 lalu, membuat saya berpikir. Akankah berdampak pada grafik penumpang pesawat? Harga tiket pesawat naik akan mendasari kaum menengah kebawah memilih jenis kendaraan lain dan menghindari travelling dengan pesawat. 

Dunia penerbangan jatuh lagi bahkan melebihi collapse ketika awal pandemi kemarin? Mungkin bagi kalangan menengah ke atas tak begitu berdampak karena mudah saja bagi mereka untuk mengikuti laju kenaikan harga. Bahkan ada yang terbiasa melakukan perjalanan dengan menggunakan pesawat carter pribadi. 

Sementara rakyat jelata...semakin jauh dari impian untuk bisa menggapainya jadi kenyataan. Pemerintah harus mempertimbangkan dan mencari alternatif lain guna menyiasati kenaikan harga ini. Dengan memperhatikan kelangsungan perusahaan maskapai penerbangan maupun masyarakat umum sebagai konsumen. *deeja

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun