Di era modern yang serba cepat dan praktis, banyak orang mulai terbiasa dengan pola hidup yang tidak sehat tanpa disadari. Makanan cepat saji, minuman manis, serta kebiasaan duduk terlalu lama telah menjadi bagian dari keseharian. Gaya hidup seperti ini sering dianggap sepele, padahal perlahan tapi pasti membawa dampak serius bagi kesehatan. Salah satu penyakit yang kini menjadi ancaman nyata akibat pola hidup tidak sehat adalah Diabetes Melitus. Penyakit ini tidak hanya menyerang orang tua, tetapi juga mulai banyak ditemukan pada usia muda. Fenomena ini menjadi ironi: sesuatu yang "manis" justru berubah menjadi momok yang mengancam kehidupan manusia.
Diabetes Melitus adalah penyakit metabolik kronis yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah (glukosa) dalam tubuh karena gangguan pada produksi atau fungsi insulin. Menurut World Health Organization (WHO), diabetes merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Sementara data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) menunjukkan bahwa prevalensi diabetes terus meningkat setiap tahunnya, bahkan kini menjadi salah satu dari sepuluh penyebab kematian utama di Indonesia. Fakta ini memperlihatkan bahwa diabetes bukan lagi masalah individu, melainkan masalah kesehatan masyarakat yang perlu ditangani secara serius.
Di balik meningkatnya angka penderita diabetes, terdapat pola hidup masyarakat yang berubah drastis. Di masa lalu, aktivitas fisik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Namun kini, kemajuan teknologi membuat segala sesuatu bisa dilakukan dengan mudah tanpa banyak bergerak. Ditambah lagi dengan tren konsumsi makanan instan yang tinggi lemak, gula, dan garam, tubuh semakin kehilangan keseimbangannya. Banyak orang lebih memilih kepraktisan dibandingkan kesehatan. Hal inilah yang menjadi akar dari meningkatnya risiko diabetes melitus.
Ironisnya, banyak masyarakat yang belum memahami bahwa diabetes bukan hanya soal kadar gula darah yang tinggi. Penyakit ini membawa dampak luas terhadap berbagai organ tubuh. Jika tidak dikendalikan, diabetes dapat menyebabkan komplikasi seperti gangguan jantung, stroke, gagal ginjal, kebutaan, hingga amputasi. Dalam banyak kasus, penderita baru menyadari kondisinya setelah mengalami gejala berat. Ini menunjukkan betapa pentingnya deteksi dini dan edukasi masyarakat tentang bahaya diabetes.
Salah satu tantangan utama dalam mengendalikan diabetes adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pencegahan. Sebagian besar orang baru mulai peduli pada kesehatan setelah mengalami gejala atau diagnosis penyakit. Padahal, langkah-langkah sederhana seperti mengatur pola makan, rutin berolahraga, menjaga berat badan ideal, dan melakukan pemeriksaan kesehatan berkala dapat menurunkan risiko diabetes secara signifikan. Kesadaran ini harus ditanamkan sejak usia muda, agar generasi berikutnya dapat tumbuh dengan gaya hidup yang lebih sehat.
Selain faktor gaya hidup, aspek sosial dan ekonomi juga memiliki peran besar dalam kasus diabetes. Di banyak wilayah, makanan sehat justru lebih mahal dan sulit dijangkau dibandingkan makanan cepat saji. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah lebih cenderung memilih makanan murah namun tidak bergizi. Di sisi lain, promosi makanan dan minuman manis sangat gencar di media sosial dan televisi, sehingga masyarakat, terutama anak muda, mudah tergoda. Pemerintah dan tenaga kesehatan perlu mengambil langkah strategis untuk mengedukasi masyarakat serta mengatur iklan dan distribusi produk yang berisiko meningkatkan penyakit tidak menular seperti diabetes.
Dari perspektif promosi kesehatan, penanganan diabetes seharusnya tidak hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga pada perubahan perilaku masyarakat. Edukasi kesehatan harus dirancang dengan cara yang menarik dan mudah dipahami. Misalnya, kampanye kreatif yang melibatkan media sosial, penyuluhan di sekolah, serta kegiatan komunitas yang menekankan pentingnya gaya hidup sehat. Tenaga kesehatan seperti promotor kesehatan memiliki peran penting dalam mendampingi masyarakat agar memahami risiko diabetes dan cara mencegahnya.
Selain itu, dukungan keluarga juga menjadi kunci penting dalam mencegah dan mengelola diabetes. Pola makan dan kebiasaan sehat harus dimulai dari rumah. Orang tua dapat menjadi teladan bagi anak-anak dalam mengatur konsumsi gula, memilih makanan bergizi, serta beraktivitas fisik secara rutin. Ketika seluruh anggota keluarga menerapkan gaya hidup sehat, risiko diabetes dapat ditekan secara signifikan.
Namun, tantangan lain muncul dari kebiasaan masyarakat yang sering kali sulit berubah. Banyak orang merasa bahwa hidup sehat itu rumit dan mahal, padahal tidak selalu demikian. Berjalan kaki setiap hari, mengurangi konsumsi minuman manis, dan memperbanyak sayur serta buah sudah merupakan langkah awal yang sangat efektif. Permasalahannya bukan pada ketersediaan pilihan sehat, melainkan pada kemauan dan kesadaran individu untuk berubah.
Dari sisi emosional, penderita diabetes juga menghadapi beban psikologis yang cukup berat. Mereka harus menjalani pengobatan seumur hidup dan disiplin menjaga pola makan, sesuatu yang tidak mudah dilakukan. Oleh karena itu, dukungan sosial dan lingkungan sangat dibutuhkan agar penderita tidak merasa sendiri. Sikap empati dan pemahaman dari keluarga, teman, serta tenaga kesehatan dapat membantu mereka mempertahankan motivasi untuk hidup sehat.
Selain faktor gaya hidup dan ekonomi, ada pula aspek budaya yang turut berpengaruh terhadap meningkatnya kasus diabetes di masyarakat. Di Indonesia, budaya "jamuan manis" sudah sangat melekat. Dalam setiap perayaan, tamu kerap disuguhi kue, teh manis, sirup, atau minuman bersoda. Budaya ini membuat konsumsi gula berlebihan menjadi hal yang dianggap wajar dan bahkan sopan. Padahal, tanpa disadari, kebiasaan ini justru memperbesar risiko diabetes dalam jangka panjang. Mengubah pola pikir masyarakat tentang "manis sebagai simbol keramahan" menjadi tantangan besar dalam upaya pencegahan diabetes di tingkat komunitas.
Perubahan budaya tentu tidak dapat dilakukan secara instan. Namun, edukasi yang konsisten dan disampaikan dengan cara yang relevan dapat membantu menggeser pandangan masyarakat. Misalnya, kampanye publik yang mengangkat tema "Hidup Sehat Itu Keren" atau "Kurangi Gula, Tambah Umur" dapat membangun kesadaran bahwa menjaga kesehatan bukanlah beban, tetapi gaya hidup modern yang patut dibanggakan. Pendekatan semacam ini tidak hanya efektif di kalangan dewasa, tetapi juga sangat berpengaruh pada generasi muda yang akrab dengan media digital.
Keterlibatan sekolah dan institusi pendidikan juga sangat penting. Pendidikan kesehatan sebaiknya tidak hanya diberikan dalam bentuk teori, tetapi juga melalui praktik langsung. Misalnya, sekolah dapat mengadakan "Hari Tanpa Gula", lomba bekal sehat, atau kegiatan olahraga rutin bersama. Dengan menanamkan kebiasaan sehat sejak dini, anak-anak akan tumbuh menjadi generasi yang lebih sadar akan pentingnya pola hidup seimbang. Langkah kecil seperti ini, bila dilakukan secara berkelanjutan, akan memberi dampak besar dalam menurunkan angka kejadian diabetes di masa depan.
Selain masyarakat dan sekolah, dunia kerja pun perlu berperan aktif dalam mendukung gaya hidup sehat. Banyak pekerja kantoran menghabiskan waktu duduk di depan komputer selama berjam-jam, yang meningkatkan risiko diabetes dan obesitas. Perusahaan dapat berkontribusi dengan menyediakan program kesehatan seperti senam pagi, pemeriksaan kesehatan berkala, dan kantin dengan menu bergizi seimbang. Lingkungan kerja yang mendukung gaya hidup sehat tidak hanya meningkatkan produktivitas, tetapi juga menurunkan risiko penyakit kronis di kalangan karyawan.
Kita juga tidak bisa menutup mata terhadap peran industri pangan. Banyak produk yang mengandung kadar gula tersembunyi, meskipun tidak selalu terasa manis di lidah. Konsumen sering kali tidak menyadari bahwa makanan kemasan, saus, roti, atau minuman berenergi mengandung gula tambahan dalam jumlah tinggi. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang ketat dan transparansi informasi gizi pada label produk makanan dan minuman. Pemerintah perlu memastikan bahwa masyarakat memiliki akses terhadap informasi yang benar agar dapat memilih dengan bijak.
Di sisi lain, media massa dan influencer juga memegang peranan penting dalam membentuk opini publik tentang gaya hidup sehat. Konten-konten edukatif yang ringan namun informatif bisa menjadi cara efektif untuk menyebarkan pesan kesehatan. Alih-alih hanya menampilkan iklan minuman manis atau makanan cepat saji, media juga seharusnya lebih banyak memberikan ruang bagi pesan-pesan promosi kesehatan. Bila kesadaran ini tumbuh di berbagai lapisan masyarakat, perubahan perilaku kolektif menuju hidup sehat akan menjadi lebih mungkin terwujud.
Kita perlu memahami bahwa diabetes bukan sekadar penyakit medis, tetapi juga isu sosial dan ekonomi. Beban biaya pengobatan diabetes sangat tinggi dan dapat menguras keuangan keluarga. Banyak penderita yang harus bergantung pada obat seumur hidup, bahkan mengalami komplikasi yang memerlukan perawatan jangka panjang. Dalam konteks ini, pencegahan menjadi jauh lebih hemat dan bijaksana dibanding pengobatan. Negara-negara maju telah membuktikan bahwa investasi pada edukasi dan pencegahan jauh lebih efektif daripada menanggung biaya pengobatan kronis.
Lebih dari itu, isu diabetes juga berkaitan erat dengan kualitas hidup. Penderita diabetes tidak hanya menghadapi keterbatasan fisik, tetapi juga tekanan mental. Mereka harus menjaga pola makan, rutin berolahraga, dan memantau kadar gula darah setiap saat. Tidak sedikit yang merasa stres atau kehilangan semangat karena perubahan besar yang harus dijalani. Oleh karena itu, pendekatan penanganan diabetes tidak boleh hanya berfokus pada aspek medis, tetapi juga harus memperhatikan kesejahteraan psikologis penderita. Konseling, dukungan komunitas, dan lingkungan sosial yang suportif dapat menjadi sumber kekuatan bagi mereka.
Dalam konteks promosi kesehatan, peran tenaga kesehatan masyarakat menjadi semakin penting. Promotor kesehatan dapat berperan sebagai agen perubahan yang mengedukasi dan memotivasi masyarakat untuk berperilaku sehat. Dengan pendekatan partisipatif, masyarakat tidak hanya menjadi objek, tetapi juga subjek dalam upaya pencegahan diabetes. Mereka dilibatkan dalam kegiatan seperti posbindu, pemeriksaan gula darah rutin, serta pelatihan memasak makanan sehat dengan bahan lokal. Ketika masyarakat memiliki kesadaran dan keterampilan untuk menjaga kesehatannya sendiri, keberhasilan pencegahan penyakit kronis seperti diabetes akan lebih terjamin.
Melihat kenyataan ini, sangat jelas bahwa pencegahan diabetes melitus tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Diperlukan kolaborasi lintas sektor: pemerintah, tenaga kesehatan, dunia pendidikan, media, dan masyarakat itu sendiri. Sinergi antara semua elemen inilah yang akan menjadi kunci keberhasilan dalam menekan laju peningkatan kasus diabetes di Indonesia. Upaya ini harus dilandasi semangat gotong royong dan kepedulian terhadap sesama, sebagaimana nilai-nilai yang menjadi ciri khas bangsa kita.
Pada akhirnya, diabetes melitus adalah cermin dari gaya hidup manusia modern. Ia menjadi pengingat bahwa kemajuan teknologi dan kemudahan hidup tidak selalu membawa kebahagiaan bila tidak diimbangi dengan kesadaran menjaga kesehatan. Tubuh manusia memiliki batas --- dan jika terus dipaksa tanpa perawatan yang tepat, maka penyakit seperti diabetes akan menjadi peringatan keras dari alam terhadap ketidakseimbangan hidup.
Maka dari itu, mari kita ubah cara pandang terhadap "manis." Manis sejati bukan berasal dari makanan atau minuman, tetapi dari kehidupan yang penuh energi, kebahagiaan, dan kesehatan yang terjaga. Hidup sehat bukan sekadar pilihan, melainkan kebutuhan dan tanggung jawab kita bersama. Dengan mengendalikan konsumsi gula dan menerapkan gaya hidup aktif, kita tidak hanya mencegah diabetes, tetapi juga menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi diri sendiri dan generasi berikutnya.Â
Kezia Kanaya Nayoan(711333123011)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI