Di tengah pergeseran besar dalam dunia pendidikan dan komunikasi akibat digitalisasi, organisasi mahasiswa menghadapi berbagai tantangan kompleks. Ini tidak sebatas bagaimana merancang program kerja, melainkan juga tentang mempertahankan relevansi peran, memenuhi kebutuhan mahasiswa, serta menjaga integritas organisasi di tengah derasnya informasi dan banyaknya gangguan. Dalam kondisi ini, Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) harus bertransformasi dari sekadar menjadi elemen struktural tambahan. BLM perlu muncul sebagai lembaga pendorong demokrasi kampus, think tank untuk mahasiswa, serta pengawas utama agar seluruh aktivitas organisasi berjalan sesuai dengan kepentingan mahasiswa.
Sebagai mahasiswa baru yang langsung terlibat dalam dinamika awal kehidupan di kampus, saya mulai memperhatikan bahwa banyak keinginan mahasiswa terabaikan bukan karena kurang penting, tetapi karena belum terwadahi dalam sistem yang tangguh dan adaptif terhadap tuntutan zaman. Oleh sebab itu, pemahaman saya mengenai BLM diawali dengan pertanyaan inti: apa sebenarnya peran lembaga legislatif ini di kampus modern, dan bagaimana kontribusinya bisa dioptimalkan untuk memberikan dampak yang signifikan?
Secara resmi, BLM merupakan lembaga legislatif yang bertugas mengawasi kinerja BEM, menyusun aturan internal organisasi, serta menjadi saluran aspirasi mahasiswa. Namun, jika hanya memahami hal tersebut secara formal, BLM akan kehilangan maknanya. BLM bukan semata-mata "institusi yang ada karena regulasi", melainkan alat demokrasi yang menentukan apakah organisasi mahasiswa berjalan dengan baik atau justru terhambat. Fungsi pengawasan yang dijalankan BLM seharusnya berlandaskan pada prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keterpihakan terhadap kebutuhan nyata mahasiswa, tidak hanya sekadar menilai apakah kegiatan berlangsung sesuai waktu yang telah ditentukan.
Dalam konteks digital, tantangan terbesar yang dihadapi pengawasan dan legislasi adalah miskomunikasi informasi. Banyak mahasiswa tidak sadar tentang aktivitas yang dilakukan oleh organisasi mereka, atau bahkan merasa tidak memiliki ruang untuk menyampaikan pendapat. Oleh karena itu, saya meyakini bahwa BLM perlu mengadopsi cara baru dalam mengumpulkan, menganalisis, dan menyampaikan aspirasi mahasiswa. Aspirasi mahasiswa tidak boleh hanya bergantung pada forum tatap muka atau kotak saran fisik yang jarang dijamah. Di sinilah pentingnya keterlibatan digital.
BLM dapat menjadi pelopor sistem aspirasi yang berbasis data dengan menciptakan platform digital partisipatif, seperti saluran Telegram khusus untuk aspirasi yang responsif, forum Q&A virtual bulanan, hingga sistem polling dan survei digital yang secara rutin disebarkan dan ditindaklanjuti. Setiap masukan dari mahasiswa tidak hanya dicatat, tetapi juga harus dipetakan, dianalisis, dan menjadi landasan untuk pengambilan kebijakan organisasi. Ini membutuhkan pendekatan yang tidak hanya komunikatif, tetapi juga analitis dan strategis. BLM harus memiliki kemampuan untuk mengenali tren aspirasi dan kebutuhan mahasiswa, serta berani menjadikan hal tersebut sebagai dasar dalam mendorong perubahan program atau kebijakan internal organisasi.
Lebih jauh lagi, saya meyakini bahwa BLM harus bergerak dari sekadar fungsi pengesahan menuju peran legislatif yang aktif dalam merumuskan inisiatif kebijakan. Ini berarti, tidak hanya mengomentari program kerja BEM, tetapi juga secara proaktif merancang dan mengusulkan kebijakan-kebijakan baru yang berorientasi pada masa depan mahasiswa vokasi. Misalnya, jika BLM menemukan bahwa banyak mahasiswa merasa kurang mendapatkan pelatihan yang relevan dengan kebutuhan industri, maka BLM seharusnya menyusun policy recommendation yang berisi standar pelatihan vokasi yang didasarkan pada permintaan pasar kerja. Ini bisa menjadi pedoman bagi BEM dalam merancang program, sekaligus bahan diskusi antara mahasiswa dan fakultas.
Fungsi legislatif seharusnya berlandaskan pada keberanian moral. BLM tidak boleh sekadar berfungsi sebagai simbol, namun juga perlu memiliki integritas untuk menilai program yang tidak sesuai serta kesiapan untuk menolak penyalahgunaan wewenang atau kebijakan yang tidak tepat. Namun, kritik yang konstruktif tidak dapat berdiri sendiri. BLM harus membangun komunikasi dan kolaborasi yang positif dengan BEM serta fakultas. Ini merupakan pendekatan strategis yang fleksibel dalam pengawasan, sekaligus menciptakan keberlanjutan dan harmoni dalam organisasi.
Kerja sama lintas pihak juga menjadi aspek penting dalam visi BLM saat ini. Dalam era digital yang menuntut kolaborasi antar sektor, BLM tidak cukup hanya melakukan komunikasi internal. Saya percaya, BLM harus memperluas pengaruh dan partisipasinya. Tidak hanya dengan fakultas, tetapi juga dengan alumni, mitra industri, dan organisasi eksternal. Contohnya, BLM dapat memulai forum "Parlemen Vokasi" yang menyatukan mahasiswa, alumni, dan pelaku industri untuk membicarakan isu terkait vokasi saat ini seperti tantangan di dunia kerja, kebutuhan keterampilan, atau kesempatan magang. Melalui diskusi tersebut, BLM dapat merumuskan rekomendasi strategis bagi fakultas sebagai landasan dalam pengembangan kebijakan akademik.
      Selain itu, saya meyakini bahwa BLM perlu mengambil peran kultural di kalangan mahasiswa yang membangun budaya yang partisipatif, kritis, dan terbuka. Banyak mahasiswa sekarang ini merasa bahwa organisasi ini hanya untuk segelintir orang. Tantangan bagi BLM adalah menunjukkan bahwa setiap mahasiswa memegang peran penting dalam ekosistem kampus. Melalui pendidikan politik kampus yang dikemas secara inovatif (seperti konten edukatif digital, podcast, video singkat, atau simulasi sidang), mahasiswa akan diajak memahami bahwa suara mereka berharga, dan perubahan dapat dimulai dari aspirasi yang sederhana.
Kesimpulannya, memahami peran BLM bukan hanya mengenai struktur dan fungsi, tetapi juga tentang kesadaran. Kesadaran bahwa demokrasi di kampus tidak akan berfungsi tanpa lembaga legislatif yang kuat. Kesadaran bahwa keberpihakan kepada mahasiswa adalah suatu tanggung jawab, bukan sekadar pilihan. Dan kesadaran bahwa perubahan signifikan dimulai dari keberanian untuk mengevaluasi peran kita secara kritis dan bertindak dengan cara yang inovatif.
Saya yakin, jika BLM dijalankan dengan integritas, kemampuan kritis, dan semangat inovatif, lembaga ini akan menjadi pusat gravitasi baru dalam manajemen organisasi mahasiswa. Ia bukan hanya berfungsi untuk menyetujui atau menolak proposal, tetapi juga berkontribusi dalam merancang masa depan kehidupan kampus yang partisipatif, progresif, dan sejalan dengan perkembangan zaman.