Kasus Setya Novanto (Golkar): Golkar sempat berlarut-larut, sementara BK DPR RI kala itu lamban menindak. Namun ketika tekanan publik memuncak, partai lebih dulu "mengamputasi" posisinya, baru kemudian BK ikut bergerak.
Kasus Fahri Hamzah (PKS): partai memecat Fahri karena konflik internal, sementara mekanisme etik di DPR sama sekali tidak berjalan. Fahri justru melawan lewat jalur hukum (PTUN) dan memenangkan gugatan, memperlihatkan betapa BK hanya jadi pelengkap penderita.
Kasus daerah lain (Sulsel & Jabar): beberapa DPRD pernah mengalami anggota yang terseret kasus hukum, di mana partai langsung mencopot kadernya sementara BK baru bereaksi setelah semuanya selesai.
Semua contoh ini menunjukkan pola yang sama: partai lebih cepat mengambil keputusan daripada BK, seolah BK hanya menyalin putusan yang sudah dibuat partai: tidak menunggu mekanisme, langsung memutuskan pemecatan demi citra dan kepentingan politik jangka pendek. Cepat, tapi mungkin sembrono.
Kedua ekstrem ini sama-sama bermasalah. BK terlihat lamban hingga kehilangan relevansi, sementara PDIP terlihat grusa-grusu, seolah lebih mementingkan kesan tegas daripada memastikan keadilan. Publik akhirnya terjebak dalam pertanyaan: lebih baik lembaga yang sabar tapi ompong, atau partai yang cepat tapi nafsuan?
Andai BK Berani Beda Pandangan
Mari kita bayangkan skenario liar: BK menyatakan Wahyu tidak bersalah. Apa jadinya?
Partai sudah memecat Wahyu, tapi BK justru memulihkannya secara etik.
Terjadi benturan terang-terangan antara kedaulatan partai dan otoritas dewan.
Rakyat bisa melihat betapa politik daerah ini bukan lagi soal hukum atau moral, tapi adu cepat siapa lebih dulu menekan tombol keputusan.
Kalau skenario ini benar-benar terjadi, PDIP bisa marah, DPRD bisa terbelah, dan Wahyu bisa memanfaatkan celah hukum lewat PTUN untuk menantang pemecatannya. Bayangkan, seorang kader yang sudah dianggap "mayat politik" bisa bangkit lewat putusan BK.