Yogyakarta - Setiap hari, Kota Yogyakarta menghasilkan ratusan ton sampah. Pada 2023, jumlahnya diperkirakan mencapai 300 ton per hari, dengan mayoritas berupa sampah organik dari rumah tangga dan pasar. Sayangnya, tidak semua sampah itu bisa terangkut. Hanya sekitar 60 persen yang berhasil diolah, sisanya masih menumpuk dan berpotensi mencemari lingkungan. Data DLH Kota Yogyakarta tahun 2023 mencatat produksi sampah 300 ton perhari, belum termasuk sampah dari Bantul dan Sleman yang juga masuk ke TPA Piyungan. Akibatnya total sampah yang di timbun bisa mencapai 700 ton per hari. Â
Sampah perkotaan umumnya diangkut lalu dibuang ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Di Yogyakarta, TPA Piyungan menjadi lokasi utama penampungan sampah sejak 1995. TPA yang berada di Desa Sitimulyo, Bantul ini menampung sampah dari Sleman, Bantul, dan Kota Yogyakarta di lahan seluas 12,5 hektar.Â
Sayangnya, kapasitas TPA Piyungan sudah tidak mampu menahan beban. Volume sampah yang masuk setiap hari jauh melebihi batas, sehingga gunungan sampah terus meninggi. Bahkan, pemerintah daerah hingga kini belum menemukan lokasi alternatif yang bisa menggantikan peran TPA Piyungan. Salah satu masalah terbesar ada di TPA Piyungan.
 Tempat ini dirancang hanya untuk menampung sekitar 650 ton sampah per hari, tapi kenyataannya jauh lebih banyak yang masuk. Pada 2022, rata-rata sampah yang ditimbun mencapai 747 ton setiap hari. Akibatnya, dapat mengancam kualitas hidup masyarakat mulai dari udara yang tercemar hingga tanah yang ikut terkontaminasi.Â
Tak heran, warga sekitar sempat mendesak agar TPA ditutup permanen. Mereka sudah lama mengeluhkan jalan yang rusak akibat lalu-lalang truk sampah, air yang tercemar, serta lingkungan yang kian menurun. Pemerintah memang berusaha berdialog, sebagian tuntutan warga dipenuhi, tetapi untuk menutup TPA sepenuhnya belum ada solusi karena Yogyakarta, Sleman, dan Bantul belum memiliki tempat pembuangan alternatif.Â
Di sisi lain, kesadaran masyarakat juga masih rendah. Banyak yang masih memakai plastik sekali pakai, enggan memilah sampah, atau bahkan membuang sampah ke sungai dan selokan. Padahal, petugas kebersihan sudah disiapkan untuk mengangkut sampah dengan cara yang lebih tertib. Persoalan ini menunjukkan bahwa masalah sampah tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah, melainkan membutuhkan kerja sama semua pihak.Â
Namun, di balik krisis ini ada peluang besar. Sampah yang menumpuk sebenarnya menyimpan potensi energi. Pertanyaannya, mungkinkah tumpukan sampah yang selama ini dianggap masalah justru menjadi sumber listrik yang menerangi rumah-rumah kita?Â
Kebutuhan energi di Indonesia terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk dan pesatnya industrialisasi. Data Kementerian ESDM tahun 2021 mencatat konsumsi energi nasional mencapai lebih dari 900 juta barel setara minyak. Sayangnya, sebagian besar energi itu masih bergantung pada sumber fosil seperti batu bara, minyak, dan gas. Ketergantungan pada fosil membuat Cadangan energi cepat habis, sekaligus dapamemperparah polusi di kota-kota besar.Â
Di sisi lain, sampah rumah tangga, plastik, hingga sisa makanan sering kali berakhir di TPA tanpa dikelola dengan baik. Padahal, sampah sebenarnya bisa menjadi sumber energi baru. Konsep Waste to Energy (WtE) memungkinkan sampah diolah menjadi listrik atau panas. Caranya, sampah dibakar pada suhu tinggi, menghasilkan energi panas yang kemudian menggerakkan turbin pembangkit listrik. Di Eropa, teknologi ini bahkan mampu memberi pasokan listrik bagi puluhan juta rumah tangga.
Bagi Yogyakarta, peluang ini sangat besar. Sampah organik yang mendominasi, seperti dari pasar dan rumah tangga, bisa diolah menjadi biogas melalui teknologi pencernaan anaerobik. Biogas ini bisa dipakai untuk pembangkit listrik atau bahan bakar kendaraan. Sementara itu, sampah anorganik yang tidak bisa didaur ulang dapat diubah lewat insinerasi atau gasifikasi menjadi energi panas dan gas sintetis yang bermanfaat.Â
Namun, penerapan teknologi ini tidak mudah. Biayanya tinggi, pengoperasiannya kompleks, dan perlu pengawasan ketat agar emisi tidak mencemari lingkungan. Tantangan lain datang dari masyarakat: kebiasaan memilah sampah di rumah masih sangat rendah. Akibatnya, kualitas bahan baku sampah untuk teknologi WtE sering kali buruk dan menurunkan efisiensi produksi energi.Â