Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keunikan "Yadnya" Beberapa Desa Adat di Karangasem (Dari Puluhan Sampai Ribuan Babi Guling)

4 Maret 2018   21:00 Diperbarui: 5 Maret 2018   19:47 1886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
imgrum.org | Sumber gambar: IG; cultureBali (@culture_bali)

"Yadnya" dalam ajaran agama Hindu adalah sebuah korban suci yang tulus ihklas, yang mungkin ditujukan kepada; 1) Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan Yang Maha Esa (Dewa Yadnya; 2) Manusia atau sesama (Manusia Yadnya); 3) Para bhuta/roh-roh halus (Bhuta Yadnya); 4) Para Rsi/Pendeta (Rsi Yadnya), dan; 5) Para Pitra/roh leluhur (Pitra Yadnya). Kelima jenis "yadnya" di atas dikenal dengan istilah "Panca Yadnya". Umat Hindu sangat yakin dan taat untuk menjalankan "Panca Yadnya" secara periodik dan berkesinambungan sebagai upaya untuk menyeimbangkan kehidupan di bumi/alam nyata (Buana Alit) dengan kehidupan dunia lain dan akhirat (Buana Agung).

Khusus umat Hindu di Pulau Bali, mereka akan melaksanakan "yadnya" berdasarkan keyakinan akan dewasa ayu (hari-hari baik) nganutin dresta desa, kala, patra (sesuai tradisi atau kebiasaan dan keyakinan yang disepakati di masing-masing desa adat. Kesepakatan-kesepakatan tersebut biasanya tertuang di dalam: Awig-awig Desa Adat, Pararem, atau Purana Desa, yang sangat disakralkan dan dipegang teguh sebagai panduan pelaksanaan "Yadnya". Oleh karena itu, peran para Sulinggih/Pendeta dan Kelian Desa Adat menjadi sangat sentral di wilayah desa masing-masing. Dalam tataran yang lebih luas, di samping PHDI sebagai Majelis tertinggi umat Hindu yang biasanya mengeluarkan "bhisama" atau fatwa ada juga Majelis Desa Pakraman dari tingkat pusat sampai ke desa-desa adat.

Kabupaten Karangasem yang merupakan salah satu Kabupaten di Bali yang terletak paling timur di kenal sebagai hulunya Bali. Hal itu cukup beralasan karena di Kabupaten Karangasem terdapat beberapa Pura Kahyangan Jagad, seperti: Pura Besakih, Pura Lempuyang, Pura Silayukti, Pura Andakasa, serta Gunung Agung yang merupakan hulunya Bali. Sebagai Kabupaten dengan banyak memiliki desa-desa tua yang terkenal dengan keunikan tradisinya, Karangasem dikenal juga sebagai The Spirit Of Bali. Hal itu tidak berlebihan, jika Karangasem bermasalah seperti belakangan ini, maka Bali secara menyeluruh juga terdampak, bahkan negeri kita juga terpengaruh, utamanya di sektor pendapatan dari pariwisata.

Salah satu ritual "yadnya" yang unik di beberapa desa tua di Karangasem adalah pelaksanaan "Dewa Yadnya" yang pada saat pelaksanaannya akan menghadirkan puluhan sampai ribuan "babi guling" sebagai pelengkap "sesaji" para umat pada saat pelaksanaan di desa adat masing-masing.

Di seluruh desa adat di Kabupaten Karangasem biasanya akan menghaturkan seekor "babi guling" saat upacara/Dewa Yadnya, baik di Pura-Pura Desa maupun Pura-Pura keluarga/Merajan. Di samping itu, biasanya krama atau umat ada yang "naur sesangi/sosot" (membayar janji kepada Tuhan) atas sesuatu yang pernah dialami olehnya. 

Dan, janji atau kaul tersebut pasti akan dibayar entah oleh yang bersangkutan (yang berjanji) atau oleh keturunannya. Tidak ada yang berani tidak membayar karena ketakutan akan kutukan. Ketika umat Hindu di desa-desa adat tersebut "naur sesangi" atau kaul, maka biasanya di areal Pura akan tersaji puluhan ekor "babi guling" pengiring sesaji. Ketika itu sudah dilaksanakan, maka lunaslah "janji suci" yang dibuat olehnya atau oleh leluhurnya yang belum sempat terbayar di masa lalu.

Penampakan | Sumber: Balitoday.net
Penampakan | Sumber: Balitoday.net
Lalu, di beberapa desa adat di Kabupaten Karangasem dikenal pula rangkaian "Dewa Yadnya" di desa tersebut yang akan menghadirkan pula puluhan hingga ratusan "babi guling" pengiring sesaji, seperti: 1) Di Desa Adat Bebandem misalnya; pada saat odalan/rahinan di Pura Puseh Desa Adat Bebandem pada saat "nemuning Sasih Kasa, rahina Buda Keliwon Paang" (sekitar bulan Juli) setiap tahunnya Desa Adat ini mewajibkan krama desa adatnya yang baru menikah (pihak laki-laki) untuk menghaturkan "sesaji" berisi seekor "babi guling" untuk setiap pengantin baru. 

Jika dalam setahun ada puluhan atau ratusan pemuda yang melepas masa lajangnya, maka pada saat rerahinan di Pura Puseh Desa Bebandem akan tersaji puluhan hingga ratusan ekor "babi guling" pula. Akan tetapi, kewajiban ini tidak serta merta dibayar oleh orangtua mempelai. Pembayarannya bisa saja dilakukan beberapa tahun kemudian sesuai kemampuan ekonomi keluarga tersebut. 

Namun. Intinya kaul tersebut pasti terbayar. 2) Di Desa Adat Bubbug, Kecamatan Karangasem dikenal adanya "Usaba Gumang" yang biasanya jatuh pada "Purnama Sasih Kapat" (sekitar bulan September) setiap tahunnya. Desa adat ini mengenal tradisi mewajibkan krama desa adatnya untuk menghaturkan sesaji yang diikuti seekor "babi guling" kepada pasutri yang baru memiliki anak di Pura Gumang di wilayah Desa Adat Bugbug tersebut.

 Jika dalam kurun satu tahun lahir puluhan atau ratusan anak-anak bayi dari pasutri di desa Adat Bugbug, maka akan tersaji pula puluhan, bahkan ratusan masyarakat krama adat Bugbug yang akan memikul "babi guling" untuk dihaturkan di Puara Gumang sebagai sebuah kewajiban yang mentradisi dan pasti terlaksana. 3) Di Desa Adat Bungaya, Kecamatan Bebandem dan di Desa Adat Timbrah, Kecamatan Karangasem dikenal "Usaba Sumbu" di Pura Desa setempat yang biasanya terlaksana pada "Sasih Kasa" di bulan Juni setiap tahunnya. 

Pada saat "Usaba Sumbu" di kedua desa adat tersebut, krama Desa Adat Timbrah dan Bungaya setiap kepala keluarga menurut tradisi di desa tersebut diwajibkan untuk menghaturkan sejaji yang dilengkapi dengan seekor "babi guling". Mengingat hal itu menjadi kewajiban per-KK dari krama desa, maka di kedua desa itu akan tersaji ribuan "babi guling" di pelataran Pura Desa setempat pada saat "Usaba Sumbu". Penduduk kedua desa adat tersebut pastinya akan terus bertambah. Suatu saat, areal Pura desa adat tersebut mungkin akan tidak sanggup menampung limpahan sesaji yang dilengkapi "babi guling" oleh masyarakatnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun