Mohon tunggu...
Wayan Kerti
Wayan Kerti Mohon Tunggu... Guru - Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Guru SMP Negeri 1 Abang, Karangasem-Bali. Terlahir, 29 Juni 1967

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Benang Merah "Tajen" dengan Pilkada

22 Januari 2018   23:07 Diperbarui: 23 Januari 2018   19:26 1207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adakah hubungan "Tajen" dengan Pilkada? Sebagian besar orang akan berpikir bahwa antara "Tajen" dan Pilkada adalah dua ranah yang berbeda. Tetapi, bagi sebagian yang lain, khususnya masyarakat di Bali mungkin bisa menerka keterkaitan atau kemiripannya.

Sekilas tentang "Tajen", pada mulanya "tajen"(sabung ayam) oleh masyarakat Bali (pemeluk agama Hindu) dahulu, sabung ayam Bali atau adu tajen awalnya adalah adu dua kelapa, di mana perayaan ini tersedia pada pemeluk Hindu, khususnya di Bali. Di samping adu kelapa tersebut, ada juga adu telur ayam atau cengkeh sebagai media. Saat menggelar upacara keagamaan atau "Yadnya" (korban suci yang tulus iklas) ini runtutan permulaan ritual tersebut, sarananya memanfaatkan satwa kurban, seperti: ayam, babi, itik, kerbau, dan bermacam-macam tipe satwa  peliharaan lain. Persembahan itu dilakukan dengan"nyambleh"(dipotong ) leher kurban  sesudah "dimanterai" (didoakan) oleh salah satu kepala suku adat Bali (Jero Mangku).  Tradisi ini sebenarnya sudah sangat lama ada terlebih pada era Kerajaan  Majapahit. Tujuannya upacara ini merupakan menyesuaikan interaksi manusia  antara "Buana Alit" dengan "Bhuana Agung".

selanjutnya, setiap upacara keagamaan, kususnya "Bhuta Yadnya" dan "Dewa Yadnya", akan diawali dengan "tabuh rah" yakni "nyambleh" (memotong) leher ayam sebagai bentuk penghormatan untuk menyeimbangkan (nyomya) para "Bhuta Kala" agar tidak menggangku prosesi ritual keagamaan tersebut. Tradisi "tabuh rah" (meneteskan darah) ayam ini kemudian berkembang menjadi "tabuh rah" dalam bentuk sabung ayam ("Tajen"). Para pengemar adu ayam/ "Tajen" di Bali, formalnya hanya dilakukan untuk hari-hari tertentu saja (saat "odalan" di Pura atau "mecaru") sehingga aparat keamanan (Kepolisian) mengizinkan sepanjang itu terkait upacara keagamaan, yang biasanya hanya ada tiga (3) seet/set saja. Lama kelamaan, kegiatan permainan ini mulai digemari dan menjadi tradisi yang sulit ditangani oleh aparat penegak hukum hingga saat ini. Sekarang, kegiatan sabung ayam sudah banyak dipratekkan di sembarang tempat dan setiap saat, bukan hanya pada saat upacara berlangsung. Bahkan, sabung ayam (tajen) telah merambah ke pelosok negeri, bahkan mendunia, menjelma menjadi kontestasi yang lebih modern.

Lalu, bagaimana asal muasal Pilkada? Pilkada langsung sesungguhnya baru dirintis sejak bergulirnya era reformasi. Pemilihan umum (pemilu) di Indonesia pada awalnya ditujukan untuk memilih anggota lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Setelah amendemen ke empat UUD 1945 pada tahun 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden (Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat dan dari rakyat sehingga Pilpres pun dimasukkan ke dalam rangkaian pemilu. Pilpres sebagai bagian dari pemilu secara langsung diadakan pertama kali pada Pemilu tahun 2004. 

Pada tahun 2007, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (Pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari rezim pemilu. Dan pada tahun 2018 ini, daerah-daerah banyak yang akan memilih gubernur dan wakil, walikota dan wawalikota, atau memilih bupati dan wakil bupati. Tercatat 171 daerah yang akan melaksanakan pilkada serentak pada tanggal 27 Juni 2018 nanti. Suatu hajatan politik yang terbilang fenomenal sepanjang pemilihan pemimpin secara langsung.

Lalu, apakah hubungan "Tajen" dengan Pilkada? Terlepas dari "Tajen" kini menjadi  tradisi yang didomplengi unsur judi dan tentunya melanggar hukum acara pidana di Negeri ini, penulis tertarik mencari sisi-sisi keterkaitan (benang merah) antara "Tajen" dengan Pilkada. Di mata penulis, kontestasi "Tajen" dengan Pilkada banyak kemiripan, dan banyak pula  hal-hal positif dari kontestasi "Tajen" yang bisa ditiru dan diterapkan dalam hajatan pilkada nanti.

Mari kita kenali kemiripan perangkat-perangkat yang tersedia pada kontestasi "Tajen" (sabungan ayam) dengan perangkat-perangkat Pilkada, seperti berikut: 

1) Pada permainan tajen terdapat penyelenggaranya, apakah kelompok-kelompok atau pribadi (di Bali dikenal dengan istilah "Cukong"). Bahkan di era tahun 1970-an sampai era tahun 1980-an, "Tajen" di Bali dilegalkan, penyelengaranya adalah aparatur pemerintah daerah. Sedangkan pada Pilkada, penyelenggaranya pemerintah melalui KPUD; 

2) Pada permainan tajen wasitnya dikenal dengan istilah "saye" yang bertugas mengawasi dan memutuskan pemenang dari permainan sabung ayam tersebut. Pada kontestasi Pilkada, yang mengawasi jalannya proses pemilihan dari awal sampai akhir adalah Bawaslu beserta turunannya.; 

3) Pada permainan "Tajen" (sabung ayam) ada ayam-ayam jago yang dibawa oleh para "bebotoh" dan siap untuk diadu sesuai kesepakatan. Pilkada juga menelorkan "jago-jago" yang diusung oleh Parpol atau perseorangan melalui jalur independen; 

4) Pada permainan sabung ayam (tajen) ada "pekembar" yang bertugas memotivasi, melepas, dan membantu proses tarung ayam aduannya sampai permainan menghasilkan pemenang atau seri. Pada Pilkada pun ada "pekembarnya" yaitu tim pemenangan dari Parpol pengusung, organisasi, atau perseorangan yang mengatur dan merencanakan berbagai strategi agar "jagonya" bisa menang; 

5) Pada permainan ayam, para "bebotoh" dan "pekembar" akan menerapkan berbagai strategi, seperti: dedauhan, pengayam-ayam, doping, senjata, sampai strategi metanding, dengan harapan ayam aduannya bisa menang sesuai harapan. Tim pemenangan pada kontes Pilkada pun akan meramu berbagai strategi, seperti: koalisi, simakrama, pemasangan baliho, sampai pada kampanya-kampanya dengan harapan juga jagonya menjadi pemenang; 

6) Pada permainan "tajen" biasanya akan dihadiri oleh banyak orang, yang masing-masing kubu berusaha mencari pendukung untuk menentukan pilihan pada ayam jago yang diperkirakan menang, tetapi ada juga yang bersifat apatis (hanya menonton saja). Pada Pilkada juga akan menghadirkan dan mencari orang/masa yang bisa dibujuk untuk mendukungnya saat pemilihan, tetapi ada juga yang hanya diam dan tidak memilih (golput); 

7) Ayam-ayam yang dipertarungkan pada permainan "tajen" umumnya adalah ayam-ayam yang sudah melalui proses pelatihan dan seleksi yang ketat dan terpelihara dengan baik. Begitu pun para jago yang diusung pada proses Pilkada merupakan orang-orang pilihan yang sudah melalui berbagai proses seleksi yang ketat.

Apa bedanya "Tajen" dengan Pilkada? Di balik beberapa kemiripan kontestasi "Tajen" dengan Pilkada, ada pula hal-hal yang berbeda, seperti berikut: 

1) Dalam permainan "tajen" sudah jelas yang diadu adalah hewan (ayam) sebagai rangkaian upacara keagamaan, sekadar atraksi hiburan, atau bahkan menjadi arena perjudian. Kontes Pilkada mengadu "Jago" manusia yang berintlektual, berintegritas, sehat jasmani-rohani, dan segala persyaratan lainnya (mungkin juga harus berduit) untuk mencari "raja-raja" di daerahnya masing-masing; 

2) Permainan sabung ayam (tajen) mengenal istilah seri (sapih), sedangkan pada Pilkada harus ada pemenangnya. Jika seri, maka dilanjutkan ke putaran berikutnya; 

3) Penyelenggara dan pengawas tajen (saye)  adalah penentu segala keputusan dan bersifat mengikat tidak boleh diganggu gugat keputusannya saat itu juga. Sedangkan pada Pilkada, keputudan penyelenggara KPU/KPUD masih bisa dipersoalkan dengan membawa ke PTUN/MK dan pengawas (Bawaslu beserta turunannya) hanya bisa mengawasi. Jika terjadi sengketa, harus dibawa ke lembaga hukum yang berwenang menurut konstitusi; 

4) Pada permainan judi "tajen" tingkat kejujuran dan sportivitasnya sangatlah tinggi, sebagai contoh; seseorang yang bertaruh hanya dengan menunjukkan bahasa isyarat "mengacungkan jari kelingking" bermakna bertaruh 1 (satu) juta rupiah dan itu akan dibayar secara seportif oleh pihak yang kalah. Pada kontes Pilkada, mencari tingkat kejujuran dan sportivitas seperti di arena sabung ayam terasa amat sulit. Justru di kontestasi Pilkada terjadi berbagai tipu muslihat, obral janji lalu dingkari menjadi hal biasa. Bahkan melanggar aturan dengan berbagai strategi mengelabui pengawasan seakan menjadi sebuah kebenaran; 

5) Permainan sabung ayam ("tajen") selalu diakhiri dengan kegembiraan, penuh rasa persaudaraan, bahkan rela berbagi antara pihak yang menang dengan yang kalah. Pada kontestasi Pilkada, cendrung terjadi tensi tinggi utamanya di tingkat akar rumput, sehingga tidak jarang ajang Pilkada menjadi ajang caci-maki, fitnah, permusuhan, rasa benci, iri, kerusuhan-kerusuhan, atau tindakan destruktif lainnya.

Berangkat dari kemiripan/persamaan dan perbedaan-perbedaan antara "Tajen" dan Pilkada itulah, penulis bermaksud mencari benang merahnya, yang sekiranya bermanfaat jika filosofi, prinsip-prinsip, serta sisi-sisi positif dalam permainan judi sabung ayam tersebut sekiranya bisa diterapkan dalam konteks Pilkada yang akan marak berlangsung tahun ini di seluruh Indonesia. Sikap-sikap kejujuran, sportivitas yang tinggi dari para "bebotoh tajen" jika bisa ditiru oleh para elite atau "bebotoh" sang Paslon tentulah akan melahirkan suatu proses Pilkada yang sangat bermutu dan bisa dipertanggungjawabkan sesuai aturan.

Sengketa-sengketa yang sampai terbawa ke ranah hukum seperti ke kepolisian, pengadilan atau bahkan gugutan ke MK bisa dihindari. Begitu pun sikap para "ayam jagoan" yang sangat jantan dan rela mati dalam pertarungan jika ditiru secara kesatria oleh para jago Pilkada, tentu tindakan-tindakan amoral, kerusuhan, atau anarkis lainnya tidak pernah terjadi. Para pemain "tajen" tidak pernah ingkar janji, walaupun bertransaksi dengan bahasa isysrat jika sikap itu ditiru oleh para "pekembar" dan "jago" Pilkada tentu tidak pernah terjadi kekecewaan di mata masyarakat yang memilih/mendukungnya.

Hal terpenting bahwa dalam permainan "tajen" akan diakhiri dengan kegembiraan, persaudaraan, dan penuh dengan rasa persahabatan di antara kubu-kubu yang bertarung. Jika itu bisa ditanamkan dan diterapkan dalam koteks Pilkada nanti, tentulah proses demokrasi kita akan berjalan dengan suasana damai, aman, penuh kegembiraan dan persaudaraan pula.

Meminjam istilah Pak Jokowi saat debat Pilpres dengan Pak Probowo 4 tahun yang lalu, "Proses berdemokrasi adalah kegembiran, jangan sampai diakhiri dengan permusuhan!"

Kita berharap, semoga aroma dan suasana Pilkada serentak tahun 2018 ini berakhir dengan lahirnya pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas, berintegritas, jujur, sportif melalui sebuah proses pemilu yang damai, gembira dan penuh persaudaraan seperti yang terjadi pada perhelatan sabung ayam (tajen).

starjogja.com
starjogja.com
Rujukan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun